Sabtu, 25 Juni 2016

islam jawa



SOSIOLOGI AGAMA
ISLAM JAWA :Kesalehan Normatif VS Kebatinan
Oleh: Freggiyanto Banyu Satria
13413241010/ Pendidikan Sosiologi UNY 2013

GAMBARAN UMUM ISI BUKU
                Buku karangan Mark R. Woodward merupakan penjelas sekaligus kritik dari karya Clifford Geertz mengenai kehidupan keagaman khususny aislam di Jawa. Karya Geerrtz yang terkenal yaitu membagi penganut islam di Jawa sebagai abangan, santri dan priyayi ini menurut Woodward merupakan studi yang kurang mendalam. Karena pada kenyataaanya menurut nya tidak ada kessamaan yang besar dari isi ataupun ajaran islam di ketiga golongan tersebut dengan hindu budha yang di tuduhkan oleh Geertz sebagai dasar dari ajaran islam kaum kraton atau priyayi. Kalau ada pun kesamaan hanya sedikit dan bukan pada ajaran yang penting. Menurutnya bukan berarti itu adalah varian islam yang kehindu-hinduan, karena selain di tempat asalnya memang menurutnya islam tidak pernah dianut dengan benar benar murni, pasti mengalami penyesuaian dengan kehidupan social yang menerimanya.
                Selanjutnya, melalui studi literature, wawancara, dan juga observasi partisipatoris yang dialakukan di Yogyakarta dan solo, dia mengambil dua bagian kehidupan islam yang mendominasi kehidupan beragama masyarakat jawa. Kedua varian islam ini adalah kesalehan normative yaiatu varian islam yang menjunjung tinggi syariat berasal dari Al-Quran dan Hadist. Varian yang lain adalah Islam Kebatinan, yang direpresentasikan oleh Woodward melalui kaum Sufisme, aliran yang lebih mementingkan jalan mistik, penyatuan jiwa dengan Tuhan daripada ajaran yang bersifat aturan, larangan, dan kewajiban. Pengolongan ini bukan untuk pembeda mana islam ortodoks, dan islam yang tercampuri nilai local, tapi hanya untuk memudahkan menjelaskan karena pemikiran utamanya adalah islam jawa juga adalah islam bukanlah penyimpangan dari islam.

ISLAM JAWA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA SOSIAL
                Islam di pulau jawa berkembang dari India melalui pedagang. Ada dua sisi menurutnya darimana islam jawa berasal, pertama adalah dari muslim india selatan khususnya Kerala diamana sangat dipengaruhi tradisi Arab. Dan sisi satunya adalah islam yang berekembang dari india utara dari kerajaan kerajaan islam di Dekkan yang terpengaruh unsure politik Indo-persia. Islam dari Kerala membawa unsure unsure arsitektur masjid dan tradisi fiqh syafii sehingga bagian islam ini membawa ajaran kesalehan normative. Sedangkan Islam Dekan membawa tradisi kerajawian yang dipakai kerajaan mataram, ritual dan aspek kebatinan.
ISLAM KEBATINAN VS KESALEHAN NORMATIF
                Islam dalam tradisi kebatinan ini bukanlah eskaptisme (lari dari kenyataan) namun merupakan usaha menyatu dengan yang kuasa (gnosis). Aliran ini mempercayai bahwa jalan untuk mencapai surge adalah dengan menyatu dengan tuhannya, melalui ajaran mistik bukan melalui syariat atau aturan. Aturan atau syariat hanyalah di khususkan bagi mereka pada tingkatan rendah. Mereka meyakini konsep kewalian. Wali adalah manusia yang sudah mencapai tahap tinggi dalam kebatinnannya hingga mencapai dan menemukan Allah didalam dirinya. Para penganut kebatinan percaya bahwa manusia merupakan representasi Tuhan dalam dunia. Manusia adalah berasal dari Jiwanya dan akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, tuhan ada dalam diri manusia dan manusia harus menyingkirkan penghalang antara dirrinya dan Tuhannya yaitu nafsu.
                Aliran sufi ini seperti sudah dikatakan sebelumnya menyebar dari asia melalui India ke Indonesia. Selain itu, yang mendasari aliran ini di Jawa juga melalui mitologi-mitolgi yang terkenal di jawa seperti serat Cebolek, Arjuna wiwaha, dan juga Negara kertagama. Dalam negar kertagama misalnya diceritakan syeh Siti Jenar yang bias mencapai kebatinan yang tinggi hingga menyatu bersama tuhannya atau yang dia sebut sebagai  manunggaling kawulo gusti” . didalam sini juga terlihat bagaimana senggolan antara islam jawa kebatinan dengan kesalehan normative sudah terjadi. Diceritakan wali songo dipimpin sunan giri menyidang Siti jenar dan dinyatakan bersalah, meskipun bukan menyatakan ajarannya salah, tetapi tidak untuk disebarkan dalam masyarkat karena dikawatirkan akan menyebabkan kebingungan.
                Perbedaan pandangan antara sufisme dengan islam normative pada dasarnya berawal dari perbedaan pandangan dan implementasi Tauhid atau “keimanan akan ke Esaan Allah”. Dimana islam normative menerima ajaran yang dii ajarkan oleh Muhamad sebagaia jalan satu satunya untuk menunjukan keimanan sesorang hamba. Tugas seorang hamba adalah malayani Tuhannya agar mendapatkan berkah. Sedangkan kaum sufi memandang tuhan yang maha Esa merupakan sumber satu satunya dan akan menjadi tempat kita kembali, dan hanya orang yang mengenali Tuhannya melalui dirinya lah yang akan kembali bersamanya. Para penganut ajaran ini melihat Muhamad juga merupakan sufi. Karena dia juga suka bertapa, terbukti dia mendapatkan wahyu ketika berdiam diri di Goa. Beliau mengenal dan dekat dengan allah melalui perjalanan kebatinan dari beliau muda sampai beliau selesai mendapatkan wahyu Al-Quran.
                Para santri normative pembaru (muhamdiyah) mengannggap aliran kebatinan sebagai suatu pembangkangan terhadap islam. Meerek menganggap bahwa syariat seperti sholat, membaca al-Quran, mengaji, melaksanakan Haji, dan berpuasa merupakan sebuah jalan dan kewajiban umat. Sedangkan menurut sufisme misalnya saja Haji, untuk apa mengitari kabah yang katanya merupakan rumah allah. Bukankah allah ada dihati kita masing masing. Ibadah haji yang dikomersilkan dan hanya satu tahun sekali jelas belum ada apa apanya dengan manusia yang selalu mencari Allah dalam perenungan di dalam hatinya. Namun, Bagi santri tradisinal sebenarnya ada beberapa pandangan, dan yang paling umum mereka memadukan keduanya, dimana syariat merupakan cara mereka beriman kepada Allah, namun juga mementingkan adanya kebatinan. Keduanya berjalan seimbang, kebatinan merupakan isi pokok ajaran dan isi dari iman, sedangkan syariat adalah wadahnya. Wadah tanpa isi tidak berarti apa-apa. Sedangkan isi tanpa wadah akan berantakan entah apa bentuknya nanti. Ada juga santri yang memanfaaatkan syarita sebagai jalan keselamatan. Atau melaksanakan syariat sebagai tiket surge dan kesejahteraan dunia. Sebagai contoh sholat malam untuk mengharapkan sesuatu, menghafal al-quran agar diberi kebaikan dunia dan akhirat. Yang menurut kaum sufi yang tulen sebagai islam pengemis.
                Ibadah kaum kebatinan bukanlah berbau syariat, melainkan perenungan diri. Perenungan diri ini bias diliohat dari ritual kehidupan. Sebagai contoh, kehamilan, nujuh bulan, kelahiran, sunatan, pernikahan dan kematian serta ziarah ke makam. Melalui ini semua, sebagai jalan perenungan siklus hidup kita, dan makna dari kehidupan kita menjelang penyatuan dengan yang maha kuasa. Sedangkan cara mendekatkan diri dengan penyatuan itu adalah dengan menghilangkan hawa nafsu, karena nafsu merupakan esensi dari manusia, oleh karena itu banyak kaum kebatinan yang melakukan tapa di gunung atau goa, sebagai perenungan diri dan menhambat nafsu. Banyak yang percaya bahwa penyatuan yang tercapai hanya akan sesaat karena penyatuan yang abadi hanya akan terjadi jika kita sudah meninggal, hal ini dikarenakan oleh tubuh yang hidup tidak akan pernah bias menghilangkan nafsu, karena tubuhlah itu sendiri yang merupakan sumber nafsu.
                Masyarakat Jawa Khususnya Yogyakarta sebagai pusat dari kehidupan islam dimana kerajaan mataram merupakan penguasa jawa yang menganut islam sebagai agama kerajaannya hidup dalam harmoni ajaran-ajaran ini. Di keraton pun islam normative dan islam jawa kebatinan hidup bernharmonisasi. Sultan , sebagai raja digambarakan juga sebagai aktualisasi tuhan di dunia sehingga beliau merupakan sumber kebatinan dan aliran kebatinan yang tinggi. Juga sumber kesaktian, dimana raja memiliki banyak pusaka kerajaan yang sangat sakti. Sedangkan urusan syariat akan diurus oleh penghulu yaitu kumpulan kyai yang ada di masjid keratonan yang membimbing masyarakat dan urusan keagamaan lainnya. Dalam agama rakyat juga demikian, santri yang meyakini dan melaksanakan syariat juga masih mempercayai rahmat dan konsep kewalian. Sehingga mereka sangat hormat dan bahkan memuja kyainya dalam konteks kekaguman. Masalah syariat sering dikaitkan juga dengan social, karena orang yang tidak melaksanakan syariat akan juga dipertanyakan ke islamannya dalam kehidupan social, misalnya saja sholat jumat. Sedangkan maslah kebitanan lebih ke ranah pribadi masing masing individu. Selain itu, ada juga aliran islam pembaru (muhamadiyah) yang menjalankan syariat dan meyakini setiap isi syariatnya sesuai dengan ajaran nabi, seddikit berbeda dengan islam normative lainnya. Mereka juga meyakini konsep kebatinan namun bukan melalui jalan mistik tetapi melalui syariat.  
                Perdebatan mengenai islam manakah yang benar bukannya tidak ada di jawa. Ini pasti dan sangat dipastikan ada. Hal ini terealisasikan melalui konsep syirik. Bagi kaum isalam jawa kebatinan, mereka yang melaksanakan syariat dengan membabi buta adalah syiril, karena mereka lebih mementingkan ritual dibandingkan dengan mendekati alllah. Sedangakan sebaliknya islam normative menganggap pemujaan, tapa, ziarah pemakaman, bahkan pewayangan sebagai syirik. Namun ini semua terus berlalu dan tidak berujung. Yang jelas, penerimaan islam di jawa digambarkan demikian oleh Moodward, namun sekali lagi bukan merupakan pemisahan yang ketat antara kebatinan dan kesalehan normative. Semuanya secara harmoni diterima dan dilaksanakan dalam islam jawa.  

ISLAM JAWA DALAM PRESPEKTIF SOSIOLOGI AGAMA
Memilih Bentuk Kesalehan
                Dalam menyikapi perihal perbedaan pandangan para sufisme dan pandangan kaum kesalehan normative, kita bisa melihat hal tersebut melalui pemikiran pilihan rasional dari agama. Seperti pemkiran Strark dan Bainbridge yang melihat bahwa umat manusia mencari apa yang dipandangnnya sebagai imbalan dan menghindari sesuatu yang dipandangnya sebagai kerugian/hukuman (Turner, 2013:317). Imbalan disini juga termasuk pencarian keselamatan kehidupan setelah kematian. Individu dan masyarakat tentunya akan memilih ajaran dan religiusitas mana yang sesuai dengan dirinya dan pilihan rasionalnya yang bisa membawanya kepada kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Tentunya bagi kaum santri normative melalui ajaran dan syariat lah kebahagian itu akan dicapai, sedangkan melalui jalan mistik dan kesatuan dengan tuhan merupakan pilihan yang diambil dan menurutnya masuk akal oleh kaum kebatinan.
                Secara khusus, pemikiran lebiih bisa dan sangat pas untuk menjelaskan bagaimana islam normative bisa diterima oleh masyarakat. Diamana islam normative berisi larangan, perintah, dan hokum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat agar bisa mendapat kebahagiaan kelak di akhirat yaitu surga. Perintah agama jika dilaksanakan mendapatkan pahala yang akan menguntungkan baginya kelak, sedangkan melanggar hokum atau larangan akan mendapat dosa yang merugikan dirinya, pemikiran pilihan raasional ini lah yang mendorong seorang muslim kesalehan normative menjadi taat dan tidak dalam menjalankan ajaran keagamaannya. Pandangan ini berkembang dari Weber yang melihat fenomena agama dari sudut pandang agency dimana individu bebas memilih milih afiliasinya dengan agama tertentu.
Agama dan Kehidupan Sosial
                Dalam pandangan Dhurkeim agama merupakan sebuah system tata cara kehidupan dimana manusia berusaha menjelaskan kosmos dalam ritualnya. Watak agamis ini muncul ditandai oleh sirkulasi menular energy-energi emosional yang membuahkan pengalaman unik dan representasi kolektif atas apa yang disebutnya “dunia sacral” (Turner, 2013:335). Sebagaimana yang di ungkapkan Dhurkeim, agama islam jawa dalam gambaran Woodward memperlihatkan fungsi social agama sebagai pengatur kehidupan social dan dasar hokum moral bagi para pengikutnya. Maka agama islam normative berfungsi sebagai pengikat kehidupan social masyarakat. Bisa di lihat dari penerapan syariat dalam  kehidupan sehari hari seperti pernikahan, pewarisan harta, pemakaman, dan masih banyak lagi lainnya. Selain itu juga ritual-ritual syariat agama yang dilasksanakan secara social berfungsi menjadi control social sekaligus pemersatu dan identitas social keagamaan seseorang. Orang yang melanggar syariat, atau tidak mengkuti ibadah social seperti sholat jumat bisa saja digunjing, atau bahkan di ingatkan karena mengancam harmoni social umat, dan juga dipertanyakan identitas keagamaannya.
                Terlebih lagi, islam menjadi agama yang di anut oleh keraton, sebagai agama Negara (keraton mataram). Agama islam jawa memandang bentuk struktur  kehidupan social yang bersifat kosmik yang tidak bisa dijelaskan melalui akal manusia masyarakat jawa adalah mmelalui ajaran islam baik normative maupun kebatinan. Sultan, digambarkan sebagai struktur mikrokosmik yang mewakili tuhan, dan kekuasaanya mutlak. Sedangkan syariat merupakan agama rakyat kebanyakan yang mementingkan ritual keagaaman bagi mereka. Pembagian dan bentuk struktur ini menunjukan kehidupan social yang masih sangat didominasi oleh agama. Walaupun pada masa sekarang, mataram sudah sedikit pengaruhnya terhadap kehidupan jawa (karena bentuk Negara modern Indonesia). Ini juga merupakan gambaran sebuah ajaran agama sebagai konsep religiusitas.

Agama dan Penganutnya
                Dalam melihat bagaimana islam jawa bisa dianut secara sejarah sudah dijelaskan oelh Woodward dengan baik, namun secara sosilogi? Ada baiknya kita melihat pemikiran-pemikiran Weber sebagai landasan pijak. Diawali oleh charisma, yang menurut Weber berasal dari ketidakmampuan pengalaman badaniah untuk menjawab masalah-masalah penderitaan dan keberuntungan (takdir baik dan buruk) dan memberikan rasa kekuasaan “adikodrati” atas hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Pengenalan, atau wahyu ini menjadi otoritas landasan badaniah agama. Ini merupakan dasar bagaiman manusia bisa mengakui agama sebagai sesuatu yang adikodrati dan akan dipeluk sebagimana dia mempercayainya. Dalam penafsiran kaum normative agama inilah yang menjadi landsan hidup, maka ajaran, aturan, dan hokum didalamnya merupakan representasi dari agam itu sendiri.
                Lebih dalam dari itu, Weber melihat dalam asketismenya agama dalam hal ini (umat protestan sebagai contoh) berjuang keras untuk memantau tubuh dalam kaitannya dengan godaan kesenangan sensualitas yang bisa memutus pengalaman berdisiplin panggilan duniawi. Artinya disini, ada penolakan tertentu tentnag nilaia duniawi dan lebih melihat dan mementingkan nilai yang lebih tinggi yaitu akhirat. Dalam tradisi islam normative disini dilihat melalui konsep ikhlas dalam beribadah dan juga tawadlhu, atau menjauhkan diri dari yang bersifat keduniaan. Sedangkan dalam pandangan kebatinan bukan pelarian dari dunia yang dipentingkan dan dimaksudkan disini, tetapi ibadah dan tata cara ibadah bukan untuk mencari pahala dan kebaikan dunia. Banyak kalangan kebatinan yang mengkritisi santri normative yang membaca al quran, sholat malam, puasa untuk mendapatkan berkah di dunia. Menurutnya, keimanan sejati jauh daripada itu, yaitu jalan menuju kesadaran kesatuan dengan esensi ilahi.
                Pada tradisi islam Normatif, syariat yang dipentingkan oleh mereka bisa dilihat sebagai ritual. Kosep ritual menurut Dhurkeim merupakan sarana agar energy emosional kolektif yang di anut oleh masyarakat dapat diperkuat, diatur, dan diisi kembali. Melalui ibadah seperti sholat berjamaah, sholat jumat, Haji di mekah, dan sebagainya islam secara otomatis diperkuat ajaran dan keanggotaannya, diatur bagaimana anggotanya bertindak dan bertingkah laku. Hal ini semakin memperjelas bahwa islam normative sangat berfungsi sebagai agama pemersatu umat, atau dalam bahasa sosialnya adalah pranata social. Dengan denikian, bagi mereka yang mengidamkan masyarakat yang aman, sejahtera, teratur di dunia aspek syariat ini menjadi sangatlah penting selain sebagai jalan menuju surge di kehidupan kelak. Selain itu, agama sebagai habitus yang dikemukakan Bordieu menggambarkan syariat atau hokum memiliki manfaat praktis, sehingga dapat dipahami mengapa agama terus berkembang karena individu juga akan emncari manfaat prakti keagaaman.
                Untuk memahami bagaimana sisi satunya yaitu islam jawa (kebatinan) bisa diterima dan dianut diyakini oleh pemeluknya mungkin kita harus memperluas prespektif tentang agama kita tidak hanya pada religiusitas tetapi juga pada spiritualitas. Konsep spiritualitas menurut McGuire bisa digunakan untuk merujuk pada pola praktik dan pengalaman spiritual yang dibentuk “agama sebagaimana dihayati/dijalani” individu. Dimana kaum kebatinan mementingkan proses penyatuan dengan tuhannya melalui jalan masing-masing individu secara mistik. Spiritualitas oleh Flanagan digambarkan sebagai aspek niscaya dari kebenaran hakiki sebagai manusia. Dilihat dari semangatnya, actor soisl menemukan ambisi, penyemangat dan pujian yang menggerakan dan melampaui dirinya. Jelas terlihat pada bagian ini bahwa islam kebatinan menekankan akan aspek spiritualitas ini karena mereka menekankan akan pencarian menuju kesadaran diri yang hakiki bahwa didalam dirinya erdapat sefat ke Tuhanan, maka mencari tuhan adalah proses mengintropeksi sifat diri. Ini juga dijelaskan oleh Wuthnow bahwa spiritualitas bisa didefinisikan sebagai kondisi terhubung dengan tatanan realita ilahi, adikodrati. Arti terhubung disini bagi para kebatinan merupakan arti secara harfiah mereka menyatu dengan tuhannya.
                Menurut Barker, jikalau Religiusitas melibatkan kepercayaan pada tuhan personal yang transenden, maka spiritualitas meelibatkan kepercayaan pada “tuhan di dalam”. Yang berkaitan dengan diri pribadi dan tanggung jawab internal. Islam jawa memandang Tuhan ada dimana-mana termasuk dalam diri kita, dan kebenaran akan tuhan sudah ada dalam diri kita melalui perenungan, dan pemaknaan akan kehidupan kewajiban sebagai manusia, kita akan menemukan tuhan dalam diri kita. Maka dari itu pemikiran spiritual ini semakin yakin dan sangat meyakinkan yang menjadi dasar bagi kaum sufisme memandang agama islam yang di yakininya. Pandangan spiritualisme yang ortodoks , biasanya ini juga menjadi pemalingan akan tugas ekternal diluar individu. Hal ini yang mendasari bagaimana perlembangan sufisme (islam kebatinan) tidak berkembang secara kelompok, atau jika ada pun hanya sedikit, lebih bersifat individual dan tidak sembarangan diajarkan karena memang bukan kewajiban mereka. Mereka menganggpa jalan menemukan tuhan akan didapat oleh masing masijng individu dengan cara yang berbeda melalui perenungan yang berbeda, namaun sama tujuannya menuju kesatuan dengan yang maha Esa.
Islam jawa dan politik, politik dan Islam jawa
                Pada masa kerajaan mataram masih mendomijnasi tanah jawa, sudah dikatakan sebelumnya dan digambarkan oleh Woodward dengan sangat lengkap bahwa system pemerintahan berdasarkan ajaran agama islam. Bahkan pengakuan keabsahan berdirinya mataram dalam serat negarakertagama, dan serat centini melalui afiliasi dengan agama islam dan wali songo yaitu sunan kalijaga. Ini menggambarakn bahwa hubungan politik dan agama sangat erat kaitannya. Politik disini memanfaatkan agam yang sedang berkembang pesat di jawa sebagai legimitasinya terhadap kekuasaan kerajaan saat itu. Bahakan sultan disamakan atau dianggap sebagai  perwakilan Allah di muka bumi. Mengapa doktrin agama sangat mudah dipakai sebagai legimirtasi kekuasaan, karena pada hakiakatnaya manusia menyadari kekuasaan dunia hanyalah simulasi atas kekuasaan yang maha Kuasa yang menciptakan dunia, bilamana kekuasaan dunia bisa sebaik mungkin haruslah berdasarkan kekuasaan hakiki dalam ketuhanan.
                Sebaliknya, agama juga tidak tunduk diam dalam permainan politik. Disini agama digambarkan berpolitik secara apik. Salah satunya adalah penggambaran dan simnolisasi sultan sebagai Gusti di dunia. Menyatakan bahwa keagaamaan menjadi pusat dan poros pemerintahan kerajaan dan system kehidupan masyarkat kerajaan. Sehingga pelaksanaan kehdiupan sehari- hari dimasyarakat berdasarkan doktrin dan ajran keagamaan. Silmbol, merupakan hasil ampuh dari kegairahan yang dimediasis ritual, symbol menegakan muatan emosional yang sudah tercipta sejak awal. Melalui symbol ini agama akn dibela, pembelaan sultan sebagai gusti yang ada di bumi menggambarkan penghormatan dan pembelaan terhadap agama. Maka daria itu, agama menjadi terlindungi dan terlestariakan dengan baik. Selain itu, sultan dengan ke istimewaan yang di dapat menggambarkan pembangunan sekat disekililing aliran keagamaan yang membatasi manfaat yang didapat pengikutnya.

KESIMPULAN
                Islam di jawa terdiri dari dua golongan yang tidak bisa dipisahkan secara totlaiter yaitu islam yang berdasarkan kesalehan normative, dan islam yang berdasrakan kebatinan. Berbeda dengan Clifort Gertz yang memandang agama jawa sebagai kelompok abangan, priyayi dan santri.  Untuk kajian secara etnografi mereka berhasil menjelaskan islam di jawa secara baik dan cukup lengkap pembahasannya. Terutama Mark. R. Woodward yang menggambarkan secara gambling dan historis bagaimana islam masuk dan berkembang ke Indonesia hingga membentuk beberapa varian islam yang di anut dan di percayai oleh pemeluknya.  Karya besar ini bukan berarti tidak memiliki kekurangan, karena pada dasarnya pasti ada sisi yang memang kurang dan berpotensi untuk diulas, dikritik, oleh penemu lainnya. Kelemahannya adalah data etnografi Woodward memang sangatlah lengkap dalam menhyajikan sebuah fenomena, namun kebanyakan secara deskriftif, kurang ekplanatoris. Kendati demikian masih ada beberapa kajian yang di ungkapkan beliau yang bagi saya kurang penjelasan.
                Salah satu contoh kekurangan penjelasan yang seharusnya ada adalah bagian menjelaskan islam kebatinan. Di awal penjelasanya mengenai islam jawa aliran kebatinan Woodward menyebutkan bahwa aliran kebatinan islam jawa tidak sama dengan eskaptisme yang dikemukakan beberap ahli. Eskaptisme merupakan pelarian, penyangkalan, atau perlawanan akan kenyataan kehidupan yang ada di dunia. Sisi mana yang membedakan kebatinan dengangambaran ini? Apakah kebatinan islam di jawa ini membentuk sifat tersendiri pada umatnya yang berbeda dengan eskaptisme tadi? Seyogyanya jika iya, Woodaward menunjukan penjelasannya untuk mendukung analisanya. Selain itu, walaupun sedikit di singgung di beberapa bagian, menurut saya Woodward kurang memperhatikan dan melobatkan pemikiran islam pembaru dalam karyanya. Islam pembaru yang dianut kebanyakan asliran muhamadiyah ini seperti sedikit di abaikannya sebagai pandangan santri secara umum, padahal jumlah penganutnya dan yang menerimanya sudah tidak bisa dikatakan sedikit lagi terutama di kota Yogyakarta dimana Ahmad Dahalan pertama kali mengmbangkan pemikirannya. Namun, pada akhirnya beliau tetap bisa menggambarkan dengan jelas dan baik secara keseluruhan tentang islam di jawa dan bagaimana kaitannya dengan Kebatinan dan kesalehan normative.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar