SOSIOLOGI AGAMA
ISLAM JAWA :Kesalehan Normatif VS Kebatinan
Oleh:
Freggiyanto Banyu Satria
13413241010/
Pendidikan Sosiologi UNY 2013
GAMBARAN UMUM ISI BUKU
Buku karangan
Mark R. Woodward merupakan penjelas sekaligus kritik dari karya Clifford Geertz
mengenai kehidupan keagaman khususny aislam di Jawa. Karya Geerrtz yang
terkenal yaitu membagi penganut islam di Jawa sebagai abangan, santri dan priyayi
ini menurut Woodward merupakan studi yang kurang mendalam. Karena pada kenyataaanya
menurut nya tidak ada kessamaan yang besar dari isi ataupun ajaran islam di
ketiga golongan tersebut dengan hindu budha yang di tuduhkan oleh Geertz
sebagai dasar dari ajaran islam kaum kraton atau priyayi. Kalau ada pun
kesamaan hanya sedikit dan bukan pada ajaran yang penting. Menurutnya bukan berarti
itu adalah varian islam yang kehindu-hinduan, karena selain di tempat asalnya memang
menurutnya islam tidak pernah dianut dengan benar benar murni, pasti mengalami penyesuaian
dengan kehidupan social yang menerimanya.
Selanjutnya,
melalui studi literature, wawancara, dan juga observasi partisipatoris yang
dialakukan di Yogyakarta dan solo, dia mengambil dua bagian kehidupan islam
yang mendominasi kehidupan beragama masyarakat jawa. Kedua varian islam ini adalah
kesalehan normative yaiatu varian islam yang menjunjung tinggi syariat berasal dari
Al-Quran dan Hadist. Varian yang lain adalah Islam Kebatinan, yang direpresentasikan
oleh Woodward melalui kaum Sufisme, aliran yang lebih mementingkan jalan mistik,
penyatuan jiwa dengan Tuhan daripada ajaran yang bersifat aturan, larangan, dan
kewajiban. Pengolongan ini bukan untuk pembeda mana islam ortodoks, dan islam
yang tercampuri nilai local, tapi hanya untuk memudahkan menjelaskan karena pemikiran
utamanya adalah islam jawa juga adalah islam bukanlah penyimpangan dari islam.
ISLAM JAWA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA SOSIAL
Islam di pulau jawa
berkembang dari India melalui pedagang. Ada dua sisi menurutnya darimana islam jawa
berasal, pertama adalah dari muslim india selatan khususnya Kerala diamana sangat
dipengaruhi tradisi Arab. Dan sisi satunya adalah islam yang berekembang dari india
utara dari kerajaan kerajaan islam di Dekkan yang terpengaruh unsure politik
Indo-persia. Islam dari Kerala membawa unsure unsure arsitektur masjid dan
tradisi fiqh syafii sehingga bagian islam ini membawa ajaran kesalehan
normative. Sedangkan Islam Dekan membawa tradisi kerajawian yang dipakai
kerajaan mataram, ritual dan aspek kebatinan.
ISLAM KEBATINAN VS
KESALEHAN NORMATIF
Islam dalam
tradisi kebatinan ini bukanlah eskaptisme (lari dari kenyataan) namun merupakan
usaha menyatu dengan yang kuasa (gnosis). Aliran ini mempercayai bahwa jalan
untuk mencapai surge adalah dengan menyatu dengan tuhannya, melalui ajaran
mistik bukan melalui syariat atau aturan. Aturan atau syariat hanyalah di
khususkan bagi mereka pada tingkatan rendah. Mereka meyakini konsep kewalian.
Wali adalah manusia yang sudah mencapai tahap tinggi dalam kebatinnannya hingga
mencapai dan menemukan Allah didalam dirinya. Para penganut kebatinan percaya
bahwa manusia merupakan representasi Tuhan dalam dunia. Manusia adalah berasal
dari Jiwanya dan akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, tuhan ada dalam diri
manusia dan manusia harus menyingkirkan penghalang antara dirrinya dan Tuhannya
yaitu nafsu.
Aliran sufi ini
seperti sudah dikatakan sebelumnya menyebar dari asia melalui India ke
Indonesia. Selain itu, yang mendasari aliran ini di Jawa juga melalui
mitologi-mitolgi yang terkenal di jawa seperti serat Cebolek, Arjuna wiwaha,
dan juga Negara kertagama. Dalam negar kertagama misalnya diceritakan syeh Siti
Jenar yang bias mencapai kebatinan yang tinggi hingga menyatu bersama tuhannya
atau yang dia sebut sebagai “manunggaling kawulo gusti” . didalam
sini juga terlihat bagaimana senggolan antara islam jawa kebatinan dengan
kesalehan normative sudah terjadi. Diceritakan wali songo dipimpin sunan giri
menyidang Siti jenar dan dinyatakan bersalah, meskipun bukan menyatakan
ajarannya salah, tetapi tidak untuk disebarkan dalam masyarkat karena
dikawatirkan akan menyebabkan kebingungan.
Perbedaan
pandangan antara sufisme dengan islam normative pada dasarnya berawal dari
perbedaan pandangan dan implementasi Tauhid atau “keimanan akan ke Esaan
Allah”. Dimana islam normative menerima ajaran yang dii ajarkan oleh Muhamad
sebagaia jalan satu satunya untuk menunjukan keimanan sesorang hamba. Tugas
seorang hamba adalah malayani Tuhannya agar mendapatkan berkah. Sedangkan kaum
sufi memandang tuhan yang maha Esa merupakan sumber satu satunya dan akan
menjadi tempat kita kembali, dan hanya orang yang mengenali Tuhannya melalui
dirinya lah yang akan kembali bersamanya. Para penganut ajaran ini melihat
Muhamad juga merupakan sufi. Karena dia juga suka bertapa, terbukti dia
mendapatkan wahyu ketika berdiam diri di Goa. Beliau mengenal dan dekat dengan
allah melalui perjalanan kebatinan dari beliau muda sampai beliau selesai
mendapatkan wahyu Al-Quran.
Para santri
normative pembaru (muhamdiyah) mengannggap aliran kebatinan sebagai suatu
pembangkangan terhadap islam. Meerek menganggap bahwa syariat seperti sholat,
membaca al-Quran, mengaji, melaksanakan Haji, dan berpuasa merupakan sebuah
jalan dan kewajiban umat. Sedangkan menurut sufisme misalnya saja Haji, untuk
apa mengitari kabah yang katanya merupakan rumah allah. Bukankah allah ada
dihati kita masing masing. Ibadah haji yang dikomersilkan dan hanya satu tahun
sekali jelas belum ada apa apanya dengan manusia yang selalu mencari Allah
dalam perenungan di dalam hatinya. Namun, Bagi santri tradisinal sebenarnya ada
beberapa pandangan, dan yang paling umum mereka memadukan keduanya, dimana
syariat merupakan cara mereka beriman kepada Allah, namun juga mementingkan
adanya kebatinan. Keduanya berjalan seimbang, kebatinan merupakan isi pokok
ajaran dan isi dari iman, sedangkan syariat adalah wadahnya. Wadah tanpa isi
tidak berarti apa-apa. Sedangkan isi tanpa wadah akan berantakan entah apa
bentuknya nanti. Ada juga santri yang memanfaaatkan syarita sebagai jalan
keselamatan. Atau melaksanakan syariat sebagai tiket surge dan kesejahteraan
dunia. Sebagai contoh sholat malam untuk mengharapkan sesuatu, menghafal
al-quran agar diberi kebaikan dunia dan akhirat. Yang menurut kaum sufi yang
tulen sebagai islam pengemis.
Ibadah kaum
kebatinan bukanlah berbau syariat, melainkan perenungan diri. Perenungan diri
ini bias diliohat dari ritual kehidupan. Sebagai contoh, kehamilan, nujuh
bulan, kelahiran, sunatan, pernikahan dan kematian serta ziarah ke makam. Melalui
ini semua, sebagai jalan perenungan siklus hidup kita, dan makna dari kehidupan
kita menjelang penyatuan dengan yang maha kuasa. Sedangkan cara mendekatkan
diri dengan penyatuan itu adalah dengan menghilangkan hawa nafsu, karena nafsu
merupakan esensi dari manusia, oleh karena itu banyak kaum kebatinan yang
melakukan tapa di gunung atau goa, sebagai perenungan diri dan menhambat nafsu.
Banyak yang percaya bahwa penyatuan yang tercapai hanya akan sesaat karena
penyatuan yang abadi hanya akan terjadi jika kita sudah meninggal, hal ini
dikarenakan oleh tubuh yang hidup tidak akan pernah bias menghilangkan nafsu,
karena tubuhlah itu sendiri yang merupakan sumber nafsu.
Masyarakat Jawa
Khususnya Yogyakarta sebagai pusat dari kehidupan islam dimana kerajaan mataram
merupakan penguasa jawa yang menganut islam sebagai agama kerajaannya hidup
dalam harmoni ajaran-ajaran ini. Di keraton pun islam normative dan islam jawa
kebatinan hidup bernharmonisasi. Sultan , sebagai raja digambarakan juga
sebagai aktualisasi tuhan di dunia sehingga beliau merupakan sumber kebatinan
dan aliran kebatinan yang tinggi. Juga sumber kesaktian, dimana raja memiliki
banyak pusaka kerajaan yang sangat sakti. Sedangkan urusan syariat akan diurus
oleh penghulu yaitu kumpulan kyai
yang ada di masjid keratonan yang membimbing masyarakat dan urusan keagamaan
lainnya. Dalam agama rakyat juga demikian, santri yang meyakini dan
melaksanakan syariat juga masih mempercayai rahmat dan konsep kewalian.
Sehingga mereka sangat hormat dan bahkan memuja kyainya dalam konteks
kekaguman. Masalah syariat sering dikaitkan juga dengan social, karena orang
yang tidak melaksanakan syariat akan juga dipertanyakan ke islamannya dalam
kehidupan social, misalnya saja sholat jumat. Sedangkan maslah kebitanan lebih
ke ranah pribadi masing masing individu. Selain itu, ada juga aliran islam
pembaru (muhamadiyah) yang menjalankan syariat dan meyakini setiap isi
syariatnya sesuai dengan ajaran nabi, seddikit berbeda dengan islam normative lainnya.
Mereka juga meyakini konsep kebatinan namun bukan melalui jalan mistik tetapi
melalui syariat.
Perdebatan
mengenai islam manakah yang benar bukannya tidak ada di jawa. Ini pasti dan
sangat dipastikan ada. Hal ini terealisasikan melalui konsep syirik. Bagi kaum
isalam jawa kebatinan, mereka yang melaksanakan syariat dengan membabi buta
adalah syiril, karena mereka lebih mementingkan ritual dibandingkan dengan
mendekati alllah. Sedangakan sebaliknya islam normative menganggap pemujaan,
tapa, ziarah pemakaman, bahkan pewayangan sebagai syirik. Namun ini semua terus
berlalu dan tidak berujung. Yang jelas, penerimaan islam di jawa digambarkan
demikian oleh Moodward, namun sekali lagi bukan merupakan pemisahan yang ketat
antara kebatinan dan kesalehan normative. Semuanya secara harmoni diterima dan
dilaksanakan dalam islam jawa.
ISLAM JAWA DALAM
PRESPEKTIF SOSIOLOGI AGAMA
Memilih Bentuk Kesalehan
Dalam menyikapi
perihal perbedaan pandangan para sufisme dan pandangan kaum kesalehan
normative, kita bisa melihat hal tersebut melalui pemikiran pilihan rasional
dari agama. Seperti pemkiran Strark dan Bainbridge yang melihat bahwa umat
manusia mencari apa yang dipandangnnya sebagai imbalan dan menghindari sesuatu
yang dipandangnya sebagai kerugian/hukuman (Turner, 2013:317). Imbalan disini
juga termasuk pencarian keselamatan kehidupan setelah kematian. Individu dan
masyarakat tentunya akan memilih ajaran dan religiusitas mana yang sesuai
dengan dirinya dan pilihan rasionalnya yang bisa membawanya kepada kebahagiaan
hakiki di akhirat kelak. Tentunya bagi kaum santri normative melalui ajaran dan
syariat lah kebahagian itu akan dicapai, sedangkan melalui jalan mistik dan
kesatuan dengan tuhan merupakan pilihan yang diambil dan menurutnya masuk akal
oleh kaum kebatinan.
Secara khusus,
pemikiran lebiih bisa dan sangat pas untuk menjelaskan bagaimana islam
normative bisa diterima oleh masyarakat. Diamana islam normative berisi
larangan, perintah, dan hokum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat agar
bisa mendapat kebahagiaan kelak di akhirat yaitu surga. Perintah agama jika
dilaksanakan mendapatkan pahala yang akan menguntungkan baginya kelak,
sedangkan melanggar hokum atau larangan akan mendapat dosa yang merugikan
dirinya, pemikiran pilihan raasional ini lah yang mendorong seorang muslim
kesalehan normative menjadi taat dan tidak dalam menjalankan ajaran
keagamaannya. Pandangan ini berkembang dari Weber yang melihat fenomena agama
dari sudut pandang agency dimana individu bebas memilih milih afiliasinya
dengan agama tertentu.
Agama dan Kehidupan Sosial
Dalam pandangan Dhurkeim
agama merupakan sebuah system tata cara kehidupan dimana manusia berusaha
menjelaskan kosmos dalam ritualnya. Watak agamis ini muncul ditandai oleh
sirkulasi menular energy-energi emosional yang membuahkan pengalaman unik dan
representasi kolektif atas apa yang disebutnya “dunia sacral” (Turner,
2013:335). Sebagaimana yang di ungkapkan Dhurkeim, agama islam jawa dalam
gambaran Woodward memperlihatkan fungsi social agama sebagai pengatur kehidupan
social dan dasar hokum moral bagi para pengikutnya. Maka agama islam normative
berfungsi sebagai pengikat kehidupan social masyarakat. Bisa di lihat dari
penerapan syariat dalam kehidupan sehari
hari seperti pernikahan, pewarisan harta, pemakaman, dan masih banyak lagi
lainnya. Selain itu juga ritual-ritual syariat agama yang dilasksanakan secara
social berfungsi menjadi control social sekaligus pemersatu dan identitas social
keagamaan seseorang. Orang yang melanggar syariat, atau tidak mengkuti ibadah
social seperti sholat jumat bisa saja digunjing, atau bahkan di ingatkan karena
mengancam harmoni social umat, dan juga dipertanyakan identitas keagamaannya.
Terlebih lagi,
islam menjadi agama yang di anut oleh keraton, sebagai agama Negara (keraton
mataram). Agama islam jawa memandang bentuk struktur kehidupan social yang bersifat kosmik yang
tidak bisa dijelaskan melalui akal manusia masyarakat jawa adalah mmelalui
ajaran islam baik normative maupun kebatinan. Sultan, digambarkan sebagai
struktur mikrokosmik yang mewakili tuhan, dan kekuasaanya mutlak. Sedangkan
syariat merupakan agama rakyat kebanyakan yang mementingkan ritual keagaaman
bagi mereka. Pembagian dan bentuk struktur ini menunjukan kehidupan social yang
masih sangat didominasi oleh agama. Walaupun pada masa sekarang, mataram sudah
sedikit pengaruhnya terhadap kehidupan jawa (karena bentuk Negara modern
Indonesia). Ini juga merupakan gambaran sebuah ajaran agama sebagai konsep religiusitas.
Agama dan Penganutnya
Dalam melihat
bagaimana islam jawa bisa dianut secara sejarah sudah dijelaskan oelh Woodward
dengan baik, namun secara sosilogi? Ada baiknya kita melihat
pemikiran-pemikiran Weber sebagai landasan pijak. Diawali oleh charisma, yang
menurut Weber berasal dari ketidakmampuan pengalaman badaniah untuk menjawab
masalah-masalah penderitaan dan keberuntungan (takdir baik dan buruk) dan
memberikan rasa kekuasaan “adikodrati” atas hal-hal yang tidak bisa dijelaskan.
Pengenalan, atau wahyu ini menjadi otoritas landasan badaniah agama. Ini
merupakan dasar bagaiman manusia bisa mengakui agama sebagai sesuatu yang
adikodrati dan akan dipeluk sebagimana dia mempercayainya. Dalam penafsiran
kaum normative agama inilah yang menjadi landsan hidup, maka ajaran, aturan,
dan hokum didalamnya merupakan representasi dari agam itu sendiri.
Lebih dalam
dari itu, Weber melihat dalam asketismenya agama dalam hal ini (umat protestan
sebagai contoh) berjuang keras untuk memantau tubuh dalam kaitannya dengan
godaan kesenangan sensualitas yang bisa memutus pengalaman berdisiplin
panggilan duniawi. Artinya disini, ada penolakan tertentu tentnag nilaia
duniawi dan lebih melihat dan mementingkan nilai yang lebih tinggi yaitu
akhirat. Dalam tradisi islam normative disini dilihat melalui konsep ikhlas
dalam beribadah dan juga tawadlhu, atau menjauhkan diri dari yang bersifat
keduniaan. Sedangkan dalam pandangan kebatinan bukan pelarian dari dunia yang
dipentingkan dan dimaksudkan disini, tetapi ibadah dan tata cara ibadah bukan
untuk mencari pahala dan kebaikan dunia. Banyak kalangan kebatinan yang
mengkritisi santri normative yang membaca al quran, sholat malam, puasa untuk
mendapatkan berkah di dunia. Menurutnya, keimanan sejati jauh daripada itu,
yaitu jalan menuju kesadaran kesatuan dengan esensi ilahi.
Pada tradisi
islam Normatif, syariat yang dipentingkan oleh mereka bisa dilihat sebagai
ritual. Kosep ritual menurut Dhurkeim merupakan sarana agar energy emosional
kolektif yang di anut oleh masyarakat dapat diperkuat, diatur, dan diisi
kembali. Melalui ibadah seperti sholat berjamaah, sholat jumat, Haji di mekah,
dan sebagainya islam secara otomatis diperkuat ajaran dan keanggotaannya,
diatur bagaimana anggotanya bertindak dan bertingkah laku. Hal ini semakin
memperjelas bahwa islam normative sangat berfungsi sebagai agama pemersatu
umat, atau dalam bahasa sosialnya adalah pranata social. Dengan denikian, bagi
mereka yang mengidamkan masyarakat yang aman, sejahtera, teratur di dunia aspek
syariat ini menjadi sangatlah penting selain sebagai jalan menuju surge di
kehidupan kelak. Selain itu, agama sebagai habitus yang dikemukakan Bordieu
menggambarkan syariat atau hokum memiliki manfaat praktis, sehingga dapat
dipahami mengapa agama terus berkembang karena individu juga akan emncari
manfaat prakti keagaaman.
Untuk memahami
bagaimana sisi satunya yaitu islam jawa (kebatinan) bisa diterima dan dianut
diyakini oleh pemeluknya mungkin kita harus memperluas prespektif tentang agama
kita tidak hanya pada religiusitas tetapi juga pada spiritualitas. Konsep
spiritualitas menurut McGuire bisa digunakan untuk merujuk pada pola praktik
dan pengalaman spiritual yang dibentuk “agama sebagaimana dihayati/dijalani”
individu. Dimana kaum kebatinan mementingkan proses penyatuan dengan tuhannya
melalui jalan masing-masing individu secara mistik. Spiritualitas oleh Flanagan
digambarkan sebagai aspek niscaya dari kebenaran hakiki sebagai manusia.
Dilihat dari semangatnya, actor soisl menemukan ambisi, penyemangat dan pujian
yang menggerakan dan melampaui dirinya. Jelas terlihat pada bagian ini bahwa
islam kebatinan menekankan akan aspek spiritualitas ini karena mereka
menekankan akan pencarian menuju kesadaran diri yang hakiki bahwa didalam dirinya
erdapat sefat ke Tuhanan, maka mencari tuhan adalah proses mengintropeksi sifat
diri. Ini juga dijelaskan oleh Wuthnow bahwa spiritualitas bisa didefinisikan
sebagai kondisi terhubung dengan tatanan realita ilahi, adikodrati. Arti
terhubung disini bagi para kebatinan merupakan arti secara harfiah mereka
menyatu dengan tuhannya.
Menurut Barker,
jikalau Religiusitas melibatkan kepercayaan pada tuhan personal yang
transenden, maka spiritualitas meelibatkan kepercayaan pada “tuhan di dalam”.
Yang berkaitan dengan diri pribadi dan tanggung jawab internal. Islam jawa
memandang Tuhan ada dimana-mana termasuk dalam diri kita, dan kebenaran akan
tuhan sudah ada dalam diri kita melalui perenungan, dan pemaknaan akan
kehidupan kewajiban sebagai manusia, kita akan menemukan tuhan dalam diri kita.
Maka dari itu pemikiran spiritual ini semakin yakin dan sangat meyakinkan yang
menjadi dasar bagi kaum sufisme memandang agama islam yang di yakininya. Pandangan
spiritualisme yang ortodoks , biasanya ini juga menjadi pemalingan akan tugas
ekternal diluar individu. Hal ini yang mendasari bagaimana perlembangan sufisme
(islam kebatinan) tidak berkembang secara kelompok, atau jika ada pun hanya
sedikit, lebih bersifat individual dan tidak sembarangan diajarkan karena
memang bukan kewajiban mereka. Mereka menganggpa jalan menemukan tuhan akan
didapat oleh masing masijng individu dengan cara yang berbeda melalui
perenungan yang berbeda, namaun sama tujuannya menuju kesatuan dengan yang maha
Esa.
Islam jawa dan politik,
politik dan Islam jawa
Pada masa
kerajaan mataram masih mendomijnasi tanah jawa, sudah dikatakan sebelumnya dan
digambarkan oleh Woodward dengan sangat lengkap bahwa system pemerintahan
berdasarkan ajaran agama islam. Bahkan pengakuan keabsahan berdirinya mataram
dalam serat negarakertagama, dan serat centini melalui afiliasi dengan agama
islam dan wali songo yaitu sunan kalijaga. Ini menggambarakn bahwa hubungan
politik dan agama sangat erat kaitannya. Politik disini memanfaatkan agam yang
sedang berkembang pesat di jawa sebagai legimitasinya terhadap kekuasaan
kerajaan saat itu. Bahakan sultan disamakan atau dianggap sebagai perwakilan Allah di muka bumi. Mengapa
doktrin agama sangat mudah dipakai sebagai legimirtasi kekuasaan, karena pada
hakiakatnaya manusia menyadari kekuasaan dunia hanyalah simulasi atas kekuasaan
yang maha Kuasa yang menciptakan dunia, bilamana kekuasaan dunia bisa sebaik
mungkin haruslah berdasarkan kekuasaan hakiki dalam ketuhanan.
Sebaliknya,
agama juga tidak tunduk diam dalam permainan politik. Disini agama digambarkan
berpolitik secara apik. Salah satunya adalah penggambaran dan simnolisasi
sultan sebagai Gusti di dunia. Menyatakan bahwa keagaamaan menjadi pusat dan
poros pemerintahan kerajaan dan system kehidupan masyarkat kerajaan. Sehingga
pelaksanaan kehdiupan sehari- hari dimasyarakat berdasarkan doktrin dan ajran
keagamaan. Silmbol, merupakan hasil ampuh dari kegairahan yang dimediasis
ritual, symbol menegakan muatan emosional yang sudah tercipta sejak awal.
Melalui symbol ini agama akn dibela, pembelaan sultan sebagai gusti yang ada di
bumi menggambarkan penghormatan dan pembelaan terhadap agama. Maka daria itu,
agama menjadi terlindungi dan terlestariakan dengan baik. Selain itu, sultan
dengan ke istimewaan yang di dapat menggambarkan pembangunan sekat disekililing
aliran keagamaan yang membatasi manfaat yang didapat pengikutnya.
KESIMPULAN
Islam di jawa terdiri
dari dua golongan yang tidak bisa dipisahkan secara totlaiter yaitu islam yang
berdasarkan kesalehan normative, dan islam yang berdasrakan kebatinan. Berbeda
dengan Clifort Gertz yang memandang agama jawa sebagai kelompok abangan,
priyayi dan santri. Untuk kajian secara
etnografi mereka berhasil menjelaskan islam di jawa secara baik dan cukup
lengkap pembahasannya. Terutama Mark. R. Woodward yang menggambarkan secara
gambling dan historis bagaimana islam masuk dan berkembang ke Indonesia hingga
membentuk beberapa varian islam yang di anut dan di percayai oleh
pemeluknya. Karya besar ini bukan
berarti tidak memiliki kekurangan, karena pada dasarnya pasti ada sisi yang
memang kurang dan berpotensi untuk diulas, dikritik, oleh penemu lainnya. Kelemahannya
adalah data etnografi Woodward memang sangatlah lengkap dalam menhyajikan
sebuah fenomena, namun kebanyakan secara deskriftif, kurang ekplanatoris. Kendati
demikian masih ada beberapa kajian yang di ungkapkan beliau yang bagi saya
kurang penjelasan.
Salah satu
contoh kekurangan penjelasan yang seharusnya ada adalah bagian menjelaskan
islam kebatinan. Di awal penjelasanya mengenai islam jawa aliran kebatinan
Woodward menyebutkan bahwa aliran kebatinan islam jawa tidak sama dengan
eskaptisme yang dikemukakan beberap ahli. Eskaptisme merupakan pelarian,
penyangkalan, atau perlawanan akan kenyataan kehidupan yang ada di dunia. Sisi
mana yang membedakan kebatinan dengangambaran ini? Apakah kebatinan islam di
jawa ini membentuk sifat tersendiri pada umatnya yang berbeda dengan eskaptisme
tadi? Seyogyanya jika iya, Woodaward menunjukan penjelasannya untuk mendukung analisanya.
Selain itu, walaupun sedikit di singgung di beberapa bagian, menurut saya
Woodward kurang memperhatikan dan melobatkan pemikiran islam pembaru dalam
karyanya. Islam pembaru yang dianut kebanyakan asliran muhamadiyah ini seperti
sedikit di abaikannya sebagai pandangan santri secara umum, padahal jumlah
penganutnya dan yang menerimanya sudah tidak bisa dikatakan sedikit lagi
terutama di kota Yogyakarta dimana Ahmad Dahalan pertama kali mengmbangkan
pemikirannya. Namun, pada akhirnya beliau tetap bisa menggambarkan dengan jelas
dan baik secara keseluruhan tentang islam di jawa dan bagaimana kaitannya
dengan Kebatinan dan kesalehan normative.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar