REVIEW “DUNIA YANG DILIPAT : REALITAS KEBUDAYAAN
MENJELANG MILENIUM KETIGA DAN MATINYA POSTMODERNISME” KARYA YASRAF AMIR PILIANG
OLEH: FREGGIYANTO BANYU SATRIA
PENDAHULUAN
Melalui karyanya “dunia yang
dilipat”, piliang ingin mejelaskan bagaimana rupa dan bentuk masyarakat kita
pada masa kontemporer, di milenium baru ini. Masyarakat di dunia baru ini,
bagaikan mendapati sebuah hologram raksasa, dimana semakin kita berusaha untuk
mengejar dan menggapai sesuatu itu, semakin kita menuju dan menangkap kehampaan.
Akhirnya manusia akan mengejar kesemuan, yang membuat dia candu, dan mengalami
titik puncak kepuasan semu, yang oleh Piliang di sebut sebagai “ekstasi”.
Ekstasi ini terjadi diberbagai macam bidang kehidupan, seperti ekstasi media,
ekstasi sosial, ekstasi seksual, ekstasi spiritual.
Ekstasi sosial membuat orang lebih
memilih interaksi virtual dengan obyek, manusia berbicara dengan benda. Ekstasi
spiritual menyebabkan manusia hanya peduli dengan ritual saja dan sedikit
mendapatkan esensi spiritualitas. Kehidupan politik di berbagai tingkatan
semakin bertumpu pada khayalan dan janji-janji, membentuk politik yang sarat
akan ekstasi. Segala macam ekstasi ini “me-nina bobo-kan” manusia yang
sebenarnya semakin hilang konsep dirinya sebagai subyek. Manusia modern kini
tak lebih dari “papan iklan” berjalan.
Melihat keadaan masyrakat seperti
itu, piliang hendak mengingatkan, mencoba menceritakan dongeng anak jaman
mengenai bagaimana perangkap ekstasi dalam berbagai macam bidang yang berkembang.
Selanjutnya, bagaimana hal tersebut bisa memunculkan realitas parodi yang
melakukan plesetan, atau guyonan pada dirinya sendiri. Dan akhirnya, beliau
ingin mengingatkan kita yang semakin berjalan ke milineum baru, namun jiwa kita
masih terjerat akan ilusi dan ke semuan.
PEMBAHASAN
PERANGKAP-PERANGKAP
EKSTASI
Kehidupan
masyarakat kita sedang dalam kendali perangkap-perangkap ekstasi. Mulai dari
perekonomian yang sangat mengumbar nafsu, dimana segala macam tindakan ekonomi
di dasari oleh nafsu, bukan lagi didasari oleh kebutuhan. Dan akhirnya
terbentuklah apa yang dinamakan ekonomi libido. Ektasi pengetahuan, dimana
segala kedalaman dari pengetahuan sudah tidak penting lagi, yang ada hanya
kulit luar pengetahuan yang oprasional untuk mengejar ilusi hologram mimpi. Ekstasi
spiritual yang lebih mementingkan ritual dibandingkan dengan esensi spiritual
itu sendiri.
Kondisi-kondisi
ekstasi ini diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah matinya atau
hilangnya batas. Kehilangan batas dalam konsep ruang menjadikan ruang menjadi
kabur dan semu. Batas ruang hiolang ditelan oleh teknologi, dimana kita bisa
meng”ada” di beberapa tempat sekaligus melalui teknologi. Namun, hilangnya
batas juga terjadi di dunia sosial, dan membentuk suatu masyarakat yang
transparan. Dengan adanya transparansi batas usia dalam sosiologis dari masa
kanak-kanak dan dewasa misalnya bisa menghilang, dan akhirnya moralitas akan
semakin kabur, dan terjadilah ekstasi diberbagai bidang.
Selanjutnya, keadaan ektasi ini
dipicu oleh kaburnya makna kebutuhan dan nafsu. Dimana nafsu adalah kerinduan
akan kenikmatan, pengalaman indah, enak, puncak, yang kini dianggap sebagai
kebutuhan. Yang terjadi berikutnya bahwa komoditas akan menjadi alat pemuas nafsu,
dimana nafsu bersifat tidak terbatas, sedangkan komoditas terbatas akan jumlah
maupun batas moralnya. Kondisi ini mengakibatkan hiperkomoditi yang
menggakibatkan terkikisnya keindahan, kedalaman, ketajaman moral, spiritual,
dalam diskursus kehidupan, salah satunya ekonomi.
Peradaban percepatan dalam dunia
kontemporer juga turut andil sebagai alat mempercepat kinerja dan efek ektasi. Ilmu
mengenai percepatan ini disebut oleh Virillo
sebagai dromologi. Dalam dunia global dimana ruang sudah tidak ada karena
kecepatan yang menakjubkan atas arus informasi, dan arus komoditas, segala
sesuatu yang berjalan lambat akan tergilas. Kehidupan sosial berpacu dengan
kecepatan itu sendiri, karena pada dasarya modernisasi merupakan kumpulan
pembaruan yang dihasilkan percepatan. Akhirnya, perceaptan informasi yang
mengalir tentang citraan mempengaruhi diri individu dalam gaya kehidupannya.
Semakin cepat perputaran informasi juga citraan, manusia akan semakin cepat
berganti citraanya, dan pemikiranya tanpa pendalaman makna yang terjadi. Maka
akan muncuk gejolak dalam bagian kehidupan itu sendiri akibat percepatran,
gejolak-gejolak ini yang menjadi bahaya ektasi kehidupan.
REALITAS-REALITAS
PARODI
Menurut George Bataile, segala
sesuatu yang tampak di dunia ini pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar
parodi atau sindiran bagi sesuatu yang lain. Hal ini rupanya sangat jelas
terlihat pada kehidupan sosial masyarakat saat ini. Akhirnya, hidup di
masyarakat ini menjadi seerti teater masal, dan masyrakat berubah menjadi masyrakat
tontotonan, dimana tontonan menjadi sebuah komoditas, dan komoditas menjadi
sebuah tontonan sepeti apa yang dikatakan Guy Debort. Pada akhiranya semuanya
hanya akan menjadi simulasi, pendidikan (tujuan: intelektualitas,
kebijaksanaan, modalitas) yang ada sebenarnya anti-pendidikan (komoditas,
tenaga kerja, skill). Contoh lainnya adalah dunia seni, dimana seni sudah
berbalik menjadi komoditas dan yang terjadi adalah estetika (berdasar: moral,
etika, spiritual) menjadi parodi estetik (berdasar: nilai komoditas, hegemoni).
Pada akhirnya, kita tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya
tontonan, mana yang normal, dan mana yang tidak normal.
Pada
titik tertentu abnormalitas ini akan berpengaruh terhadap identitas individu,
kelompok, atau bangsa. Menurut Peter L. Berger, identitas merupakan proses
membentuk realitas dalam hubungan sosial yang bersifat dialektis dengan
masyrakat dan bisa dipelihara, dimodifikasi, bahkan ditinggalkan tergantung
dengan struktur masyarakat. Krisis identitas terjadi salah satu faktornya
adalah kondisi struktur sosial tadi, yang bersifat abnormal, parodi, maka
identitas akan tenggelam dalam peran yang dia sandang dalam panggung sandiwara
globalisasi. Faktor selanjutnya adalah, tersedianya informasi begitu luas mengenai
kultur, subkultur, kelompok marginal lain. Hal ini menjadi titik pengaburan
identitas kita sendiri. Namun, pada dasarnya identitas merupakan proses, maka
dia akan berkembang sesuai dengan sejarah masa lalu atau bahkan tidak
berdasarkan hal tersebut. Di tengah relatifitas yang melanda seluruh dunia pada
masa ini, dipelukan identitas yang kuat, di tengah prularisme yang menurut
Derida orang bisa dengan sangat cepat berganti identitas karena pluralisme berarti
ketidak berpihakan.
Di
Indonesia sendiri, identitas masyrakatnya terserang dua arah dari dalam dimana wacana nasionalisme melunturkan
nilai lokal, dan beriringan dengan itu, wacana globalisasi, melunturkan nilai
nasionalisme. Pada akhirnya timbulah berbagai gaya hidup dan sub-kultur dari
yang negatif maupun positif seperti konsunmerisme, neo-/anti-spiritualisme,
pemikiran kehhidupan berbasis lingkungan, Punk, anti kemapanan, dan masih
banyak berbagai hal lainnya. Namun, pada dasarnya permaslahan ideintitas ini
juga berkatian dengan orang lain yang melihat kita sebagai satuan identitas.
Dalam proses ini, seharusnya obyektifitas penilainaan lah yang menjadi dasar,
tetapi yang banyak terjadi adalah etnosentrismee yang dipakai sebagai kacamata.
Karena pada dasarnya tidak ada yang berhak menilai dan memutuskan apa yang
paling baik untuk suatu kelompok masyarakat berdasar nilai yang di anutnya.
Dalam
dunia kontemporer ini, seoleh olah timur adalah peradaban yang lebih mundur
dari barat. Sehingga barat berhak menilai, memutuskan, bahkan mengatur
kehidupan timur sebagaimana pemahamannya. Dengan mimpi “narasi besar” masyrakat
di tata sedemikan rupa. Namun, hal ini mengalami paradoks, dimana perkembangan
informasi dan teknologi yang super pesat bukan melanggengkan tujuan tersebut,
namun malah memimbulkan apa yang disebut massa, dan dalam komunikasi massa maka
berakhir dan tamatlah dunia sosial.
JEJAK –
JEJAK MILINEUM
Pada masa yang disebut millineum ke
tiga ini, dimana karakteristik masyrakat seperti desa Global, terjadi yang
namanya hiperealitas. masyarakat menjadi terjebak dalam situasi simulasi yang
selalu di remajakan kembali melalui kapitalisme. Simulasi ini merupakan
penciptaan model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas. Sedangkan
kapitalisme memperkokoh keinginanuntuk mem”baru”kan sesuatu yang tidak ada
habisnya melalui agen citraan yang ada. Hanya saja tidak ada sebenarnya yang
diproduksi saat ini yang bersifat baru. Semuanya hanyalah simulasi dari hal-hal
yang sudah ada. Kodisi seperti ini juga disebut bberapa ahli sebagai
hipersemiotika, dimana terjadi ketidak sesuaian, atau ke hilangan makna akan
tanda tanda yang ada. Makna sebuah penanda sudah lepas dari tanda, atau dengan
kata lain seperti yang dikatakan Bartes, matinya pengarang.
Akhirnya, dalam keadaan demikian
dunia rasanya sedang dilipat. Jarak atau ruang menjadi mati dikalahkan melalui
waktu. Dan manusia, terjebak dalam sirkuit balap kehidupan yang menyuguhkan
kebaruan-kebaruan yang sebenarnya hanyalah daur ulang dari fragmen-fragmen yang
sudah ada sebelumnya. Pada ekonomi misalnya, daur hidup barang menjadi semakin
sempit. Pada estetik, tidak ada penciptaan karya, melainkan duplikasi, bahkan
reduplikasi karya masa lalu dengan nilai baru yang jauh tidak bermoral.
Dalam dunia postmodern sekarang
segalanya menjadi semu. Seakan kita menelusuri banuyak tanda, yang berasal dari
masa lalu, namun tidak bermakna. Semuanya hanya menjadi semcam kerinduan
romantisme masa lalu. Ruang publik menjadi semakin jejal dengan komoditas.
Nilai, moral perlahan luntur dalam kebisuan. Memasukan nilai, moral, spiritual,
melalui media, sama hal nya dengan kesia-sian. Karena komoditi lain yang
kiranya dianggap lebih penting silih berganti menyundul nilai tadi, dan proses
perenungan nilai menjadi tidak ada. Bahkan pusat berbelanja dan televisi adalah
sebuah tempat ibadah agama baru, agama kapitalisme postmodern. Manusia semakin kehilangan kesadaranya,
ungkapan Cartesian “aku berpikir, maka aku ada” di gantikan di masa sekarang
menjadi “aku berkonsumsi, maka aku ada”. Semuanya dilakukan demi membentuk
identitas semu yang juga akan silih berganti mengikuti komoditas. Maka yang
terjadi selanjutnya adalah “aku berganti diri, Maka aku ada”
Manusia memperebutkan makna sosial
yang dibawa produk yang mereka konsumsi. Padahala tanda yang di konsumsi adalah
tanda yang sudah mengalami dekontruksi. Sehingga kehidupan manusi post-modern
menjadi kehilangan makna, bergaya anti sosial. Danmengarah pada kematian
kehiupan postmodern itu sendiri.
KORELASI DENGAN MASYARAKAT MODERN
Dalam masyarakat modern atau boleh
saya sebut Postmodern? saat ini, terutama kehidupan sosial indonesia, sangat
terlihat jelas manusia sedang gterjerat dalam ekstasi-ektasi kehidupan. Mulai
dari ekrtasi ekonomi dimana masyrakat menjadi semakin konsumtif “mengikuti perkembangan”, handphone yang
cepat berganti, dari BB, Android, dan Smartphone lainnya. Selain itu juga
fashion, yang setiap tahunnya berganti tren, gaya rambut, baju, celana,
sampai-sampai segala fashion masa lalu kembali di reproduksi untuk memenuhi
hasrat penampilan tersebut. Hal ini dialkukan demi identitas diri, yang semu.
Tidak berarti dan akan selalu berubah.
Contoh lain, dalam dunia pendidikan
indonesia. Dimana yang terjadi sudah ke taraf parodi dari pendidikan itu
sendiri. Semakin berkembang pendidikan di Indonesia mulai dari tingakatan,
hingga berbagai amcam jurusan yang ada bukannya bisa mencapai intelektualitas,
moralitas, dan kebijaksanaan. Namun hanya terjebak dalam tujuan semu yaitu
“pasar tenaga kerja”. Ini bisa terjadi akbiat proses mendapatkan informasia dan
nilai terlalu cepat disusul dengan lainnya, dan akhirnya informasi dan nilai
dari sebuah pengetahuan di anggap sebagai komoditas (modal bekerja) yang datang
dan pergi. Tidak ada unsur ke dalamman. Sebagai contoh, mengerjakan tugas yang
sudah dikerjar deadline, atau skripsi yang penting cepat tanpa tahu akan
kualitas pekerjaannya, bahkan dengan menduplikasi hasil dari pekerjaan orang
lain adalah studi kasus yang pas untuk menjelaskan kenapa pendidikan menjadi
sebuah parodi.
Dalam dunia seni, dan semiotika.
Dimana sudah tidak ada lagi ruang. Aku bisa mengada dimana saja, di Hpmu, di
Laptopmu, melalui teknologi komunikasi. Orang semakin bebas dari kata yang dia
keluarkan, tanggung jawab menjadi hilang dengan apa yang kita katakan, tiulis,
dan ungkapkan karena melalui media-media tersebut, pengarang sudah dianggap
mati dan orang lain bebas untuk mengartikan. Akibatnya banyak ocehan tidak
bertanggung jawab, bullying melalui medsos, kritik tidak asik, umpataan, hasutan
, dan banyak juga salah pengartian, aduan akan pencemaran nama baik. Dan masih
banyak kasus fenomena yang timbul di dunia TV, media, internet, facebook,
twitter, instagram, pada masa postmodern ini. Kehidupan sosial saat ini kacau,
menjadi antisosial. Dalam segi informasi, Kita bahakan akan lebih mengenal artis, yang
belum pernah dijumpai daripada tetangga, aatau bahkan keluarga kita sendiri.
Ketidak pastian ini mengancam
masyarakat kita mengalami disintegrasi yang menyeluruh, atau hilangnya
identitas nasional. Indonesia yang multikultural sudah sedikit kehilangan
identitas kedaerahan dengan usaha untuk menggalakan wacana nasionalisme, namun
belim juga tercapai sekarang ini sudah digempur glonalisasi yang tanpa saringan
informasi kecuali dari dalam diri orang tersebut. Globalisasi ini juga
melunturkan nasionalisme menjadi perkumpulan dan pertarungan nilai-nilai internasionalisme
yang membingungkan. Masyarakat yang kebingungn menjadi tanpa arah, dan
pegangan. Arah dan pegangan tersebut seharusnya memang melalui moral,
spiritual, dan intelektualitas. Sehingga ada kedalaman arti, kedalaman nilai,
yang mencegah terjadinya kehidupan anti-sosial menyeluruh.
Namun, secara positif sebenarnya
kehidupan di masa sekarang ruang tidak di kuasai secara penuh oleh sebuah
kelompok, baik kelompok kepentingan maupun pemerintah. Sekarang, kita bebas
mengkritik pemerintah contohnya, melalui medsos, langsung, demonsrasi.
Pemikirran seseorang bisa di unduh dimana pun. Artinya, ada kesetaraan posisi,
secara politis mapun secara kelas sosial dalam ruang-ruang yang ada. Ini adalah
modal untuk terbentuknya masyarakat kritis, masyrakat madani. Hanya saja,
masyrakat harus di sadarkan, di bangunkan, direhabilitasi dari parodi-paroodi
dan ekstasi kehidupan.
KESIMPULAN
Menurut saya, masyarakat sekrang
memang sudah berada di era postmodern. Dimana informasi tanda sangat lah bebas. Bebas dari
interfensi, bebas dari tekanan politik dan sosial, bebas dari kelas-kelas
sosial. Di tambah lagi adalah percepatan teknologi yang menghilangkan ruang,
melalui waktu. Segala informasi darr
balahan dunia lain, tanda dari belahan dunia lain bisa kita serap disini dalam
hitungan detik, Bahkan secara langsung. Masyarakat menjadi satu desa global,
sebuah komunitas di sirkuit wacana yang sama. Kemajuan ini tentunya merupakan
suatu jalan menuju narasi besar yang di impi-impikan sebagai wacana masyarakat
global.
Namun, yang terjaidi malah
sebaliknya, keadaan yang mudah tadi membuat manusia bertindak mudah. Bukannya
untuk mendalami apa saja yang bisa mereka dapat, manusia malah mengejar
kuantiatas apa saja yang mereka dapat dalam dunia sekarang. Akhirmya kita hanya menjadi budak komoditi,
dan tidak mendalami apa nilai dari sbeuah komoditi. Nilai-nilai, moral, dan
spiritual kita akhirnya menipis dalam diri seseorang yang membuat seseornag
kehilangan identitasnya. Segala yang dituliskan penulis sudah seperti ramalan
yang erjai di era sekarang. Seharusnya ini menjadi kitab suci baru dunia
sosial. yang kurang dijelaskan oleh penulis adalah bagaimana seorang pemikir
posmodern sebenarnya menyikapi keadaan postp=moden itu sendiri,. Apakah
pemikirannya merupakan dukungan keadaan postmodern, sinisme, kritikan, atau
bahkan sebuah aliran penolakan terhadap postmodern.