Sabtu, 25 Juni 2016

DUNIA YANG DILIPAT



REVIEW “DUNIA YANG DILIPAT : REALITAS KEBUDAYAAN MENJELANG MILENIUM KETIGA DAN MATINYA POSTMODERNISME” KARYA YASRAF AMIR PILIANG
OLEH: FREGGIYANTO BANYU SATRIA

PENDAHULUAN
            Melalui karyanya “dunia yang dilipat”, piliang ingin mejelaskan bagaimana rupa dan bentuk masyarakat kita pada masa kontemporer, di milenium baru ini. Masyarakat di dunia baru ini, bagaikan mendapati sebuah hologram raksasa, dimana semakin kita berusaha untuk mengejar dan menggapai sesuatu itu, semakin kita menuju dan menangkap kehampaan. Akhirnya manusia akan mengejar kesemuan, yang membuat dia candu, dan mengalami titik puncak kepuasan semu, yang oleh Piliang di sebut sebagai “ekstasi”. Ekstasi ini terjadi diberbagai macam bidang kehidupan, seperti ekstasi media, ekstasi sosial, ekstasi seksual, ekstasi spiritual.
            Ekstasi sosial membuat orang lebih memilih interaksi virtual dengan obyek, manusia berbicara dengan benda. Ekstasi spiritual menyebabkan manusia hanya peduli dengan ritual saja dan sedikit mendapatkan esensi spiritualitas. Kehidupan politik di berbagai tingkatan semakin bertumpu pada khayalan dan janji-janji, membentuk politik yang sarat akan ekstasi. Segala macam ekstasi ini “me-nina bobo-kan” manusia yang sebenarnya semakin hilang konsep dirinya sebagai subyek. Manusia modern kini tak lebih dari “papan iklan” berjalan.
            Melihat keadaan masyrakat seperti itu, piliang hendak mengingatkan, mencoba menceritakan dongeng anak jaman mengenai bagaimana perangkap ekstasi dalam berbagai macam bidang yang berkembang. Selanjutnya, bagaimana hal tersebut bisa memunculkan realitas parodi yang melakukan plesetan, atau guyonan pada dirinya sendiri. Dan akhirnya, beliau ingin mengingatkan kita yang semakin berjalan ke milineum baru, namun jiwa kita masih terjerat akan ilusi dan ke semuan.



PEMBAHASAN
PERANGKAP-PERANGKAP EKSTASI
            Kehidupan masyarakat kita sedang dalam kendali perangkap-perangkap ekstasi. Mulai dari perekonomian yang sangat mengumbar nafsu, dimana segala macam tindakan ekonomi di dasari oleh nafsu, bukan lagi didasari oleh kebutuhan. Dan akhirnya terbentuklah apa yang dinamakan ekonomi libido. Ektasi pengetahuan, dimana segala kedalaman dari pengetahuan sudah tidak penting lagi, yang ada hanya kulit luar pengetahuan yang oprasional untuk mengejar ilusi hologram mimpi. Ekstasi spiritual yang lebih mementingkan ritual dibandingkan dengan esensi spiritual itu sendiri.  
            Kondisi-kondisi ekstasi ini diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah matinya atau hilangnya batas. Kehilangan batas dalam konsep ruang menjadikan ruang menjadi kabur dan semu. Batas ruang hiolang ditelan oleh teknologi, dimana kita bisa meng”ada” di beberapa tempat sekaligus melalui teknologi. Namun, hilangnya batas juga terjadi di dunia sosial, dan membentuk suatu masyarakat yang transparan. Dengan adanya transparansi batas usia dalam sosiologis dari masa kanak-kanak dan dewasa misalnya bisa menghilang, dan akhirnya moralitas akan semakin kabur, dan terjadilah ekstasi diberbagai bidang.
            Selanjutnya, keadaan ektasi ini dipicu oleh kaburnya makna kebutuhan dan nafsu. Dimana nafsu adalah kerinduan akan kenikmatan, pengalaman indah, enak, puncak, yang kini dianggap sebagai kebutuhan. Yang terjadi berikutnya bahwa komoditas akan menjadi alat pemuas nafsu, dimana nafsu bersifat tidak terbatas, sedangkan komoditas terbatas akan jumlah maupun batas moralnya. Kondisi ini mengakibatkan hiperkomoditi yang menggakibatkan terkikisnya keindahan, kedalaman, ketajaman moral, spiritual, dalam diskursus kehidupan, salah satunya ekonomi.
            Peradaban percepatan dalam dunia kontemporer juga turut andil sebagai alat mempercepat kinerja dan efek ektasi. Ilmu mengenai percepatan ini disebut oleh Virillo sebagai dromologi. Dalam dunia global dimana ruang sudah tidak ada karena kecepatan yang menakjubkan atas arus informasi, dan arus komoditas, segala sesuatu yang berjalan lambat akan tergilas. Kehidupan sosial berpacu dengan kecepatan itu sendiri, karena pada dasarya modernisasi merupakan kumpulan pembaruan yang dihasilkan percepatan. Akhirnya, perceaptan informasi yang mengalir tentang citraan mempengaruhi diri individu dalam gaya kehidupannya. Semakin cepat perputaran informasi juga citraan, manusia akan semakin cepat berganti citraanya, dan pemikiranya tanpa pendalaman makna yang terjadi. Maka akan muncuk gejolak dalam bagian kehidupan itu sendiri akibat percepatran, gejolak-gejolak ini yang menjadi bahaya ektasi kehidupan.
REALITAS-REALITAS PARODI
            Menurut George Bataile, segala sesuatu yang tampak di dunia ini pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar parodi atau sindiran bagi sesuatu yang lain. Hal ini rupanya sangat jelas terlihat pada kehidupan sosial masyarakat saat ini. Akhirnya, hidup di masyarakat ini menjadi seerti teater masal, dan masyrakat berubah menjadi masyrakat tontotonan, dimana tontonan menjadi sebuah komoditas, dan komoditas menjadi sebuah tontonan sepeti apa yang dikatakan Guy Debort. Pada akhiranya semuanya hanya akan menjadi simulasi, pendidikan (tujuan: intelektualitas, kebijaksanaan, modalitas) yang ada sebenarnya anti-pendidikan (komoditas, tenaga kerja, skill). Contoh lainnya adalah dunia seni, dimana seni sudah berbalik menjadi komoditas dan yang terjadi adalah estetika (berdasar: moral, etika, spiritual) menjadi parodi estetik (berdasar: nilai komoditas, hegemoni). Pada akhirnya, kita tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya tontonan, mana yang normal, dan mana yang tidak normal. 
Pada titik tertentu abnormalitas ini akan berpengaruh terhadap identitas individu, kelompok, atau bangsa. Menurut Peter L. Berger, identitas merupakan proses membentuk realitas dalam hubungan sosial yang bersifat dialektis dengan masyrakat dan bisa dipelihara, dimodifikasi, bahkan ditinggalkan tergantung dengan struktur masyarakat. Krisis identitas terjadi salah satu faktornya adalah kondisi struktur sosial tadi, yang bersifat abnormal, parodi, maka identitas akan tenggelam dalam peran yang dia sandang dalam panggung sandiwara globalisasi. Faktor selanjutnya adalah, tersedianya informasi begitu luas mengenai kultur, subkultur, kelompok marginal lain. Hal ini menjadi titik pengaburan identitas kita sendiri. Namun, pada dasarnya identitas merupakan proses, maka dia akan berkembang sesuai dengan sejarah masa lalu atau bahkan tidak berdasarkan hal tersebut. Di tengah relatifitas yang melanda seluruh dunia pada masa ini, dipelukan identitas yang kuat, di tengah prularisme yang menurut Derida orang bisa dengan sangat cepat berganti identitas karena pluralisme berarti ketidak berpihakan.
Di Indonesia sendiri, identitas masyrakatnya terserang dua arah dari  dalam dimana wacana nasionalisme melunturkan nilai lokal, dan beriringan dengan itu, wacana globalisasi, melunturkan nilai nasionalisme. Pada akhirnya timbulah berbagai gaya hidup dan sub-kultur dari yang negatif maupun positif seperti konsunmerisme, neo-/anti-spiritualisme, pemikiran kehhidupan berbasis lingkungan, Punk, anti kemapanan, dan masih banyak berbagai hal lainnya. Namun, pada dasarnya permaslahan ideintitas ini juga berkatian dengan orang lain yang melihat kita sebagai satuan identitas. Dalam proses ini, seharusnya obyektifitas penilainaan lah yang menjadi dasar, tetapi yang banyak terjadi adalah etnosentrismee yang dipakai sebagai kacamata. Karena pada dasarnya tidak ada yang berhak menilai dan memutuskan apa yang paling baik untuk suatu kelompok masyarakat berdasar nilai yang di anutnya.
Dalam dunia kontemporer ini, seoleh olah timur adalah peradaban yang lebih mundur dari barat. Sehingga barat berhak menilai, memutuskan, bahkan mengatur kehidupan timur sebagaimana pemahamannya. Dengan mimpi “narasi besar” masyrakat di tata sedemikan rupa. Namun, hal ini mengalami paradoks, dimana perkembangan informasi dan teknologi yang super pesat bukan melanggengkan tujuan tersebut, namun malah memimbulkan apa yang disebut massa, dan dalam komunikasi massa maka berakhir dan tamatlah dunia sosial.
JEJAK – JEJAK MILINEUM
            Pada masa yang disebut millineum ke tiga ini, dimana karakteristik masyrakat seperti desa Global, terjadi yang namanya hiperealitas. masyarakat menjadi terjebak dalam situasi simulasi yang selalu di remajakan kembali melalui kapitalisme. Simulasi ini merupakan penciptaan model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas. Sedangkan kapitalisme memperkokoh keinginanuntuk mem”baru”kan sesuatu yang tidak ada habisnya melalui agen citraan yang ada. Hanya saja tidak ada sebenarnya yang diproduksi saat ini yang bersifat baru. Semuanya hanyalah simulasi dari hal-hal yang sudah ada. Kodisi seperti ini juga disebut bberapa ahli sebagai hipersemiotika, dimana terjadi ketidak sesuaian, atau ke hilangan makna akan tanda tanda yang ada. Makna sebuah penanda sudah lepas dari tanda, atau dengan kata lain seperti yang dikatakan Bartes, matinya pengarang.
            Akhirnya, dalam keadaan demikian dunia rasanya sedang dilipat. Jarak atau ruang menjadi mati dikalahkan melalui waktu. Dan manusia, terjebak dalam sirkuit balap kehidupan yang menyuguhkan kebaruan-kebaruan yang sebenarnya hanyalah daur ulang dari fragmen-fragmen yang sudah ada sebelumnya. Pada ekonomi misalnya, daur hidup barang menjadi semakin sempit. Pada estetik, tidak ada penciptaan karya, melainkan duplikasi, bahkan reduplikasi karya masa lalu dengan nilai baru yang jauh tidak bermoral.
            Dalam dunia postmodern sekarang segalanya menjadi semu. Seakan kita menelusuri banuyak tanda, yang berasal dari masa lalu, namun tidak bermakna. Semuanya hanya menjadi semcam kerinduan romantisme masa lalu. Ruang publik menjadi semakin jejal dengan komoditas. Nilai, moral perlahan luntur dalam kebisuan. Memasukan nilai, moral, spiritual, melalui media, sama hal nya dengan kesia-sian. Karena komoditi lain yang kiranya dianggap lebih penting silih berganti menyundul nilai tadi, dan proses perenungan nilai menjadi tidak ada. Bahkan pusat berbelanja dan televisi adalah sebuah tempat ibadah agama baru, agama kapitalisme postmodern.  Manusia semakin kehilangan kesadaranya, ungkapan Cartesian “aku berpikir, maka aku ada” di gantikan di masa sekarang menjadi “aku berkonsumsi, maka aku ada”. Semuanya dilakukan demi membentuk identitas semu yang juga akan silih berganti mengikuti komoditas. Maka yang terjadi selanjutnya adalah “aku berganti diri, Maka aku ada”
            Manusia memperebutkan makna sosial yang dibawa produk yang mereka konsumsi. Padahala tanda yang di konsumsi adalah tanda yang sudah mengalami dekontruksi. Sehingga kehidupan manusi post-modern menjadi kehilangan makna, bergaya anti sosial. Danmengarah pada kematian kehiupan postmodern itu sendiri.



KORELASI DENGAN MASYARAKAT MODERN
            Dalam masyarakat modern atau boleh saya sebut Postmodern? saat ini, terutama kehidupan sosial indonesia, sangat terlihat jelas manusia sedang gterjerat dalam ekstasi-ektasi kehidupan. Mulai dari ekrtasi ekonomi dimana masyrakat menjadi semakin konsumtif  “mengikuti perkembangan”, handphone yang cepat berganti, dari BB, Android, dan Smartphone lainnya. Selain itu juga fashion, yang setiap tahunnya berganti tren, gaya rambut, baju, celana, sampai-sampai segala fashion masa lalu kembali di reproduksi untuk memenuhi hasrat penampilan tersebut. Hal ini dialkukan demi identitas diri, yang semu. Tidak berarti dan akan selalu berubah.
            Contoh lain, dalam dunia pendidikan indonesia. Dimana yang terjadi sudah ke taraf parodi dari pendidikan itu sendiri. Semakin berkembang pendidikan di Indonesia mulai dari tingakatan, hingga berbagai amcam jurusan yang ada bukannya bisa mencapai intelektualitas, moralitas, dan kebijaksanaan. Namun hanya terjebak dalam tujuan semu yaitu “pasar tenaga kerja”. Ini bisa terjadi akbiat proses mendapatkan informasia dan nilai terlalu cepat disusul dengan lainnya, dan akhirnya informasi dan nilai dari sebuah pengetahuan di anggap sebagai komoditas (modal bekerja) yang datang dan pergi. Tidak ada unsur ke dalamman. Sebagai contoh, mengerjakan tugas yang sudah dikerjar deadline, atau skripsi yang penting cepat tanpa tahu akan kualitas pekerjaannya, bahkan dengan menduplikasi hasil dari pekerjaan orang lain adalah studi kasus yang pas untuk menjelaskan kenapa pendidikan menjadi sebuah parodi.
            Dalam dunia seni, dan semiotika. Dimana sudah tidak ada lagi ruang. Aku bisa mengada dimana saja, di Hpmu, di Laptopmu, melalui teknologi komunikasi. Orang semakin bebas dari kata yang dia keluarkan, tanggung jawab menjadi hilang dengan apa yang kita katakan, tiulis, dan ungkapkan karena melalui media-media tersebut, pengarang sudah dianggap mati dan orang lain bebas untuk mengartikan. Akibatnya banyak ocehan tidak bertanggung jawab, bullying melalui medsos, kritik tidak asik, umpataan, hasutan , dan banyak juga salah pengartian, aduan akan pencemaran nama baik. Dan masih banyak kasus fenomena yang timbul di dunia TV, media, internet, facebook, twitter, instagram, pada masa postmodern ini. Kehidupan sosial saat ini kacau, menjadi antisosial. Dalam segi informasi,  Kita bahakan akan lebih mengenal artis, yang belum pernah dijumpai daripada tetangga, aatau bahkan keluarga kita sendiri.
            Ketidak pastian ini mengancam masyarakat kita mengalami disintegrasi yang menyeluruh, atau hilangnya identitas nasional. Indonesia yang multikultural sudah sedikit kehilangan identitas kedaerahan dengan usaha untuk menggalakan wacana nasionalisme, namun belim juga tercapai sekarang ini sudah digempur glonalisasi yang tanpa saringan informasi kecuali dari dalam diri orang tersebut. Globalisasi ini juga melunturkan nasionalisme menjadi perkumpulan dan pertarungan nilai-nilai internasionalisme yang membingungkan. Masyarakat yang kebingungn menjadi tanpa arah, dan pegangan. Arah dan pegangan tersebut seharusnya memang melalui moral, spiritual, dan intelektualitas. Sehingga ada kedalaman arti, kedalaman nilai, yang mencegah terjadinya kehidupan anti-sosial menyeluruh.
            Namun, secara positif sebenarnya kehidupan di masa sekarang ruang tidak di kuasai secara penuh oleh sebuah kelompok, baik kelompok kepentingan maupun pemerintah. Sekarang, kita bebas mengkritik pemerintah contohnya, melalui medsos, langsung, demonsrasi. Pemikirran seseorang bisa di unduh dimana pun. Artinya, ada kesetaraan posisi, secara politis mapun secara kelas sosial dalam ruang-ruang yang ada. Ini adalah modal untuk terbentuknya masyarakat kritis, masyrakat madani. Hanya saja, masyrakat harus di sadarkan, di bangunkan, direhabilitasi dari parodi-paroodi dan ekstasi kehidupan.
KESIMPULAN
            Menurut saya, masyarakat sekrang memang sudah berada di era postmodern. Dimana  informasi tanda sangat lah bebas. Bebas dari interfensi, bebas dari tekanan politik dan sosial, bebas dari kelas-kelas sosial. Di tambah lagi adalah percepatan teknologi yang menghilangkan ruang, melalui waktu. Segala  informasi darr balahan dunia lain, tanda dari belahan dunia lain bisa kita serap disini dalam hitungan detik, Bahkan secara langsung. Masyarakat menjadi satu desa global, sebuah komunitas di sirkuit wacana yang sama. Kemajuan ini tentunya merupakan suatu jalan menuju narasi besar yang di impi-impikan sebagai wacana masyarakat global.
            Namun, yang terjaidi malah sebaliknya, keadaan yang mudah tadi membuat manusia bertindak mudah. Bukannya untuk mendalami apa saja yang bisa mereka dapat, manusia malah mengejar kuantiatas apa saja yang mereka dapat dalam dunia sekarang.  Akhirmya kita hanya menjadi budak komoditi, dan tidak mendalami apa nilai dari sbeuah komoditi. Nilai-nilai, moral, dan spiritual kita akhirnya menipis dalam diri seseorang yang membuat seseornag kehilangan identitasnya. Segala yang dituliskan penulis sudah seperti ramalan yang erjai di era sekarang. Seharusnya ini menjadi kitab suci baru dunia sosial. yang kurang dijelaskan oleh penulis adalah bagaimana seorang pemikir posmodern sebenarnya menyikapi keadaan postp=moden itu sendiri,. Apakah pemikirannya merupakan dukungan keadaan postmodern, sinisme, kritikan, atau bahkan sebuah aliran penolakan terhadap postmodern.

islam jawa



SOSIOLOGI AGAMA
ISLAM JAWA :Kesalehan Normatif VS Kebatinan
Oleh: Freggiyanto Banyu Satria
13413241010/ Pendidikan Sosiologi UNY 2013

GAMBARAN UMUM ISI BUKU
                Buku karangan Mark R. Woodward merupakan penjelas sekaligus kritik dari karya Clifford Geertz mengenai kehidupan keagaman khususny aislam di Jawa. Karya Geerrtz yang terkenal yaitu membagi penganut islam di Jawa sebagai abangan, santri dan priyayi ini menurut Woodward merupakan studi yang kurang mendalam. Karena pada kenyataaanya menurut nya tidak ada kessamaan yang besar dari isi ataupun ajaran islam di ketiga golongan tersebut dengan hindu budha yang di tuduhkan oleh Geertz sebagai dasar dari ajaran islam kaum kraton atau priyayi. Kalau ada pun kesamaan hanya sedikit dan bukan pada ajaran yang penting. Menurutnya bukan berarti itu adalah varian islam yang kehindu-hinduan, karena selain di tempat asalnya memang menurutnya islam tidak pernah dianut dengan benar benar murni, pasti mengalami penyesuaian dengan kehidupan social yang menerimanya.
                Selanjutnya, melalui studi literature, wawancara, dan juga observasi partisipatoris yang dialakukan di Yogyakarta dan solo, dia mengambil dua bagian kehidupan islam yang mendominasi kehidupan beragama masyarakat jawa. Kedua varian islam ini adalah kesalehan normative yaiatu varian islam yang menjunjung tinggi syariat berasal dari Al-Quran dan Hadist. Varian yang lain adalah Islam Kebatinan, yang direpresentasikan oleh Woodward melalui kaum Sufisme, aliran yang lebih mementingkan jalan mistik, penyatuan jiwa dengan Tuhan daripada ajaran yang bersifat aturan, larangan, dan kewajiban. Pengolongan ini bukan untuk pembeda mana islam ortodoks, dan islam yang tercampuri nilai local, tapi hanya untuk memudahkan menjelaskan karena pemikiran utamanya adalah islam jawa juga adalah islam bukanlah penyimpangan dari islam.

ISLAM JAWA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA SOSIAL
                Islam di pulau jawa berkembang dari India melalui pedagang. Ada dua sisi menurutnya darimana islam jawa berasal, pertama adalah dari muslim india selatan khususnya Kerala diamana sangat dipengaruhi tradisi Arab. Dan sisi satunya adalah islam yang berekembang dari india utara dari kerajaan kerajaan islam di Dekkan yang terpengaruh unsure politik Indo-persia. Islam dari Kerala membawa unsure unsure arsitektur masjid dan tradisi fiqh syafii sehingga bagian islam ini membawa ajaran kesalehan normative. Sedangkan Islam Dekan membawa tradisi kerajawian yang dipakai kerajaan mataram, ritual dan aspek kebatinan.
ISLAM KEBATINAN VS KESALEHAN NORMATIF
                Islam dalam tradisi kebatinan ini bukanlah eskaptisme (lari dari kenyataan) namun merupakan usaha menyatu dengan yang kuasa (gnosis). Aliran ini mempercayai bahwa jalan untuk mencapai surge adalah dengan menyatu dengan tuhannya, melalui ajaran mistik bukan melalui syariat atau aturan. Aturan atau syariat hanyalah di khususkan bagi mereka pada tingkatan rendah. Mereka meyakini konsep kewalian. Wali adalah manusia yang sudah mencapai tahap tinggi dalam kebatinnannya hingga mencapai dan menemukan Allah didalam dirinya. Para penganut kebatinan percaya bahwa manusia merupakan representasi Tuhan dalam dunia. Manusia adalah berasal dari Jiwanya dan akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, tuhan ada dalam diri manusia dan manusia harus menyingkirkan penghalang antara dirrinya dan Tuhannya yaitu nafsu.
                Aliran sufi ini seperti sudah dikatakan sebelumnya menyebar dari asia melalui India ke Indonesia. Selain itu, yang mendasari aliran ini di Jawa juga melalui mitologi-mitolgi yang terkenal di jawa seperti serat Cebolek, Arjuna wiwaha, dan juga Negara kertagama. Dalam negar kertagama misalnya diceritakan syeh Siti Jenar yang bias mencapai kebatinan yang tinggi hingga menyatu bersama tuhannya atau yang dia sebut sebagai  manunggaling kawulo gusti” . didalam sini juga terlihat bagaimana senggolan antara islam jawa kebatinan dengan kesalehan normative sudah terjadi. Diceritakan wali songo dipimpin sunan giri menyidang Siti jenar dan dinyatakan bersalah, meskipun bukan menyatakan ajarannya salah, tetapi tidak untuk disebarkan dalam masyarkat karena dikawatirkan akan menyebabkan kebingungan.
                Perbedaan pandangan antara sufisme dengan islam normative pada dasarnya berawal dari perbedaan pandangan dan implementasi Tauhid atau “keimanan akan ke Esaan Allah”. Dimana islam normative menerima ajaran yang dii ajarkan oleh Muhamad sebagaia jalan satu satunya untuk menunjukan keimanan sesorang hamba. Tugas seorang hamba adalah malayani Tuhannya agar mendapatkan berkah. Sedangkan kaum sufi memandang tuhan yang maha Esa merupakan sumber satu satunya dan akan menjadi tempat kita kembali, dan hanya orang yang mengenali Tuhannya melalui dirinya lah yang akan kembali bersamanya. Para penganut ajaran ini melihat Muhamad juga merupakan sufi. Karena dia juga suka bertapa, terbukti dia mendapatkan wahyu ketika berdiam diri di Goa. Beliau mengenal dan dekat dengan allah melalui perjalanan kebatinan dari beliau muda sampai beliau selesai mendapatkan wahyu Al-Quran.
                Para santri normative pembaru (muhamdiyah) mengannggap aliran kebatinan sebagai suatu pembangkangan terhadap islam. Meerek menganggap bahwa syariat seperti sholat, membaca al-Quran, mengaji, melaksanakan Haji, dan berpuasa merupakan sebuah jalan dan kewajiban umat. Sedangkan menurut sufisme misalnya saja Haji, untuk apa mengitari kabah yang katanya merupakan rumah allah. Bukankah allah ada dihati kita masing masing. Ibadah haji yang dikomersilkan dan hanya satu tahun sekali jelas belum ada apa apanya dengan manusia yang selalu mencari Allah dalam perenungan di dalam hatinya. Namun, Bagi santri tradisinal sebenarnya ada beberapa pandangan, dan yang paling umum mereka memadukan keduanya, dimana syariat merupakan cara mereka beriman kepada Allah, namun juga mementingkan adanya kebatinan. Keduanya berjalan seimbang, kebatinan merupakan isi pokok ajaran dan isi dari iman, sedangkan syariat adalah wadahnya. Wadah tanpa isi tidak berarti apa-apa. Sedangkan isi tanpa wadah akan berantakan entah apa bentuknya nanti. Ada juga santri yang memanfaaatkan syarita sebagai jalan keselamatan. Atau melaksanakan syariat sebagai tiket surge dan kesejahteraan dunia. Sebagai contoh sholat malam untuk mengharapkan sesuatu, menghafal al-quran agar diberi kebaikan dunia dan akhirat. Yang menurut kaum sufi yang tulen sebagai islam pengemis.
                Ibadah kaum kebatinan bukanlah berbau syariat, melainkan perenungan diri. Perenungan diri ini bias diliohat dari ritual kehidupan. Sebagai contoh, kehamilan, nujuh bulan, kelahiran, sunatan, pernikahan dan kematian serta ziarah ke makam. Melalui ini semua, sebagai jalan perenungan siklus hidup kita, dan makna dari kehidupan kita menjelang penyatuan dengan yang maha kuasa. Sedangkan cara mendekatkan diri dengan penyatuan itu adalah dengan menghilangkan hawa nafsu, karena nafsu merupakan esensi dari manusia, oleh karena itu banyak kaum kebatinan yang melakukan tapa di gunung atau goa, sebagai perenungan diri dan menhambat nafsu. Banyak yang percaya bahwa penyatuan yang tercapai hanya akan sesaat karena penyatuan yang abadi hanya akan terjadi jika kita sudah meninggal, hal ini dikarenakan oleh tubuh yang hidup tidak akan pernah bias menghilangkan nafsu, karena tubuhlah itu sendiri yang merupakan sumber nafsu.
                Masyarakat Jawa Khususnya Yogyakarta sebagai pusat dari kehidupan islam dimana kerajaan mataram merupakan penguasa jawa yang menganut islam sebagai agama kerajaannya hidup dalam harmoni ajaran-ajaran ini. Di keraton pun islam normative dan islam jawa kebatinan hidup bernharmonisasi. Sultan , sebagai raja digambarakan juga sebagai aktualisasi tuhan di dunia sehingga beliau merupakan sumber kebatinan dan aliran kebatinan yang tinggi. Juga sumber kesaktian, dimana raja memiliki banyak pusaka kerajaan yang sangat sakti. Sedangkan urusan syariat akan diurus oleh penghulu yaitu kumpulan kyai yang ada di masjid keratonan yang membimbing masyarakat dan urusan keagamaan lainnya. Dalam agama rakyat juga demikian, santri yang meyakini dan melaksanakan syariat juga masih mempercayai rahmat dan konsep kewalian. Sehingga mereka sangat hormat dan bahkan memuja kyainya dalam konteks kekaguman. Masalah syariat sering dikaitkan juga dengan social, karena orang yang tidak melaksanakan syariat akan juga dipertanyakan ke islamannya dalam kehidupan social, misalnya saja sholat jumat. Sedangkan maslah kebitanan lebih ke ranah pribadi masing masing individu. Selain itu, ada juga aliran islam pembaru (muhamadiyah) yang menjalankan syariat dan meyakini setiap isi syariatnya sesuai dengan ajaran nabi, seddikit berbeda dengan islam normative lainnya. Mereka juga meyakini konsep kebatinan namun bukan melalui jalan mistik tetapi melalui syariat.  
                Perdebatan mengenai islam manakah yang benar bukannya tidak ada di jawa. Ini pasti dan sangat dipastikan ada. Hal ini terealisasikan melalui konsep syirik. Bagi kaum isalam jawa kebatinan, mereka yang melaksanakan syariat dengan membabi buta adalah syiril, karena mereka lebih mementingkan ritual dibandingkan dengan mendekati alllah. Sedangakan sebaliknya islam normative menganggap pemujaan, tapa, ziarah pemakaman, bahkan pewayangan sebagai syirik. Namun ini semua terus berlalu dan tidak berujung. Yang jelas, penerimaan islam di jawa digambarkan demikian oleh Moodward, namun sekali lagi bukan merupakan pemisahan yang ketat antara kebatinan dan kesalehan normative. Semuanya secara harmoni diterima dan dilaksanakan dalam islam jawa.  

ISLAM JAWA DALAM PRESPEKTIF SOSIOLOGI AGAMA
Memilih Bentuk Kesalehan
                Dalam menyikapi perihal perbedaan pandangan para sufisme dan pandangan kaum kesalehan normative, kita bisa melihat hal tersebut melalui pemikiran pilihan rasional dari agama. Seperti pemkiran Strark dan Bainbridge yang melihat bahwa umat manusia mencari apa yang dipandangnnya sebagai imbalan dan menghindari sesuatu yang dipandangnya sebagai kerugian/hukuman (Turner, 2013:317). Imbalan disini juga termasuk pencarian keselamatan kehidupan setelah kematian. Individu dan masyarakat tentunya akan memilih ajaran dan religiusitas mana yang sesuai dengan dirinya dan pilihan rasionalnya yang bisa membawanya kepada kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Tentunya bagi kaum santri normative melalui ajaran dan syariat lah kebahagian itu akan dicapai, sedangkan melalui jalan mistik dan kesatuan dengan tuhan merupakan pilihan yang diambil dan menurutnya masuk akal oleh kaum kebatinan.
                Secara khusus, pemikiran lebiih bisa dan sangat pas untuk menjelaskan bagaimana islam normative bisa diterima oleh masyarakat. Diamana islam normative berisi larangan, perintah, dan hokum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat agar bisa mendapat kebahagiaan kelak di akhirat yaitu surga. Perintah agama jika dilaksanakan mendapatkan pahala yang akan menguntungkan baginya kelak, sedangkan melanggar hokum atau larangan akan mendapat dosa yang merugikan dirinya, pemikiran pilihan raasional ini lah yang mendorong seorang muslim kesalehan normative menjadi taat dan tidak dalam menjalankan ajaran keagamaannya. Pandangan ini berkembang dari Weber yang melihat fenomena agama dari sudut pandang agency dimana individu bebas memilih milih afiliasinya dengan agama tertentu.
Agama dan Kehidupan Sosial
                Dalam pandangan Dhurkeim agama merupakan sebuah system tata cara kehidupan dimana manusia berusaha menjelaskan kosmos dalam ritualnya. Watak agamis ini muncul ditandai oleh sirkulasi menular energy-energi emosional yang membuahkan pengalaman unik dan representasi kolektif atas apa yang disebutnya “dunia sacral” (Turner, 2013:335). Sebagaimana yang di ungkapkan Dhurkeim, agama islam jawa dalam gambaran Woodward memperlihatkan fungsi social agama sebagai pengatur kehidupan social dan dasar hokum moral bagi para pengikutnya. Maka agama islam normative berfungsi sebagai pengikat kehidupan social masyarakat. Bisa di lihat dari penerapan syariat dalam  kehidupan sehari hari seperti pernikahan, pewarisan harta, pemakaman, dan masih banyak lagi lainnya. Selain itu juga ritual-ritual syariat agama yang dilasksanakan secara social berfungsi menjadi control social sekaligus pemersatu dan identitas social keagamaan seseorang. Orang yang melanggar syariat, atau tidak mengkuti ibadah social seperti sholat jumat bisa saja digunjing, atau bahkan di ingatkan karena mengancam harmoni social umat, dan juga dipertanyakan identitas keagamaannya.
                Terlebih lagi, islam menjadi agama yang di anut oleh keraton, sebagai agama Negara (keraton mataram). Agama islam jawa memandang bentuk struktur  kehidupan social yang bersifat kosmik yang tidak bisa dijelaskan melalui akal manusia masyarakat jawa adalah mmelalui ajaran islam baik normative maupun kebatinan. Sultan, digambarkan sebagai struktur mikrokosmik yang mewakili tuhan, dan kekuasaanya mutlak. Sedangkan syariat merupakan agama rakyat kebanyakan yang mementingkan ritual keagaaman bagi mereka. Pembagian dan bentuk struktur ini menunjukan kehidupan social yang masih sangat didominasi oleh agama. Walaupun pada masa sekarang, mataram sudah sedikit pengaruhnya terhadap kehidupan jawa (karena bentuk Negara modern Indonesia). Ini juga merupakan gambaran sebuah ajaran agama sebagai konsep religiusitas.

Agama dan Penganutnya
                Dalam melihat bagaimana islam jawa bisa dianut secara sejarah sudah dijelaskan oelh Woodward dengan baik, namun secara sosilogi? Ada baiknya kita melihat pemikiran-pemikiran Weber sebagai landasan pijak. Diawali oleh charisma, yang menurut Weber berasal dari ketidakmampuan pengalaman badaniah untuk menjawab masalah-masalah penderitaan dan keberuntungan (takdir baik dan buruk) dan memberikan rasa kekuasaan “adikodrati” atas hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Pengenalan, atau wahyu ini menjadi otoritas landasan badaniah agama. Ini merupakan dasar bagaiman manusia bisa mengakui agama sebagai sesuatu yang adikodrati dan akan dipeluk sebagimana dia mempercayainya. Dalam penafsiran kaum normative agama inilah yang menjadi landsan hidup, maka ajaran, aturan, dan hokum didalamnya merupakan representasi dari agam itu sendiri.
                Lebih dalam dari itu, Weber melihat dalam asketismenya agama dalam hal ini (umat protestan sebagai contoh) berjuang keras untuk memantau tubuh dalam kaitannya dengan godaan kesenangan sensualitas yang bisa memutus pengalaman berdisiplin panggilan duniawi. Artinya disini, ada penolakan tertentu tentnag nilaia duniawi dan lebih melihat dan mementingkan nilai yang lebih tinggi yaitu akhirat. Dalam tradisi islam normative disini dilihat melalui konsep ikhlas dalam beribadah dan juga tawadlhu, atau menjauhkan diri dari yang bersifat keduniaan. Sedangkan dalam pandangan kebatinan bukan pelarian dari dunia yang dipentingkan dan dimaksudkan disini, tetapi ibadah dan tata cara ibadah bukan untuk mencari pahala dan kebaikan dunia. Banyak kalangan kebatinan yang mengkritisi santri normative yang membaca al quran, sholat malam, puasa untuk mendapatkan berkah di dunia. Menurutnya, keimanan sejati jauh daripada itu, yaitu jalan menuju kesadaran kesatuan dengan esensi ilahi.
                Pada tradisi islam Normatif, syariat yang dipentingkan oleh mereka bisa dilihat sebagai ritual. Kosep ritual menurut Dhurkeim merupakan sarana agar energy emosional kolektif yang di anut oleh masyarakat dapat diperkuat, diatur, dan diisi kembali. Melalui ibadah seperti sholat berjamaah, sholat jumat, Haji di mekah, dan sebagainya islam secara otomatis diperkuat ajaran dan keanggotaannya, diatur bagaimana anggotanya bertindak dan bertingkah laku. Hal ini semakin memperjelas bahwa islam normative sangat berfungsi sebagai agama pemersatu umat, atau dalam bahasa sosialnya adalah pranata social. Dengan denikian, bagi mereka yang mengidamkan masyarakat yang aman, sejahtera, teratur di dunia aspek syariat ini menjadi sangatlah penting selain sebagai jalan menuju surge di kehidupan kelak. Selain itu, agama sebagai habitus yang dikemukakan Bordieu menggambarkan syariat atau hokum memiliki manfaat praktis, sehingga dapat dipahami mengapa agama terus berkembang karena individu juga akan emncari manfaat prakti keagaaman.
                Untuk memahami bagaimana sisi satunya yaitu islam jawa (kebatinan) bisa diterima dan dianut diyakini oleh pemeluknya mungkin kita harus memperluas prespektif tentang agama kita tidak hanya pada religiusitas tetapi juga pada spiritualitas. Konsep spiritualitas menurut McGuire bisa digunakan untuk merujuk pada pola praktik dan pengalaman spiritual yang dibentuk “agama sebagaimana dihayati/dijalani” individu. Dimana kaum kebatinan mementingkan proses penyatuan dengan tuhannya melalui jalan masing-masing individu secara mistik. Spiritualitas oleh Flanagan digambarkan sebagai aspek niscaya dari kebenaran hakiki sebagai manusia. Dilihat dari semangatnya, actor soisl menemukan ambisi, penyemangat dan pujian yang menggerakan dan melampaui dirinya. Jelas terlihat pada bagian ini bahwa islam kebatinan menekankan akan aspek spiritualitas ini karena mereka menekankan akan pencarian menuju kesadaran diri yang hakiki bahwa didalam dirinya erdapat sefat ke Tuhanan, maka mencari tuhan adalah proses mengintropeksi sifat diri. Ini juga dijelaskan oleh Wuthnow bahwa spiritualitas bisa didefinisikan sebagai kondisi terhubung dengan tatanan realita ilahi, adikodrati. Arti terhubung disini bagi para kebatinan merupakan arti secara harfiah mereka menyatu dengan tuhannya.
                Menurut Barker, jikalau Religiusitas melibatkan kepercayaan pada tuhan personal yang transenden, maka spiritualitas meelibatkan kepercayaan pada “tuhan di dalam”. Yang berkaitan dengan diri pribadi dan tanggung jawab internal. Islam jawa memandang Tuhan ada dimana-mana termasuk dalam diri kita, dan kebenaran akan tuhan sudah ada dalam diri kita melalui perenungan, dan pemaknaan akan kehidupan kewajiban sebagai manusia, kita akan menemukan tuhan dalam diri kita. Maka dari itu pemikiran spiritual ini semakin yakin dan sangat meyakinkan yang menjadi dasar bagi kaum sufisme memandang agama islam yang di yakininya. Pandangan spiritualisme yang ortodoks , biasanya ini juga menjadi pemalingan akan tugas ekternal diluar individu. Hal ini yang mendasari bagaimana perlembangan sufisme (islam kebatinan) tidak berkembang secara kelompok, atau jika ada pun hanya sedikit, lebih bersifat individual dan tidak sembarangan diajarkan karena memang bukan kewajiban mereka. Mereka menganggpa jalan menemukan tuhan akan didapat oleh masing masijng individu dengan cara yang berbeda melalui perenungan yang berbeda, namaun sama tujuannya menuju kesatuan dengan yang maha Esa.
Islam jawa dan politik, politik dan Islam jawa
                Pada masa kerajaan mataram masih mendomijnasi tanah jawa, sudah dikatakan sebelumnya dan digambarkan oleh Woodward dengan sangat lengkap bahwa system pemerintahan berdasarkan ajaran agama islam. Bahkan pengakuan keabsahan berdirinya mataram dalam serat negarakertagama, dan serat centini melalui afiliasi dengan agama islam dan wali songo yaitu sunan kalijaga. Ini menggambarakn bahwa hubungan politik dan agama sangat erat kaitannya. Politik disini memanfaatkan agam yang sedang berkembang pesat di jawa sebagai legimitasinya terhadap kekuasaan kerajaan saat itu. Bahakan sultan disamakan atau dianggap sebagai  perwakilan Allah di muka bumi. Mengapa doktrin agama sangat mudah dipakai sebagai legimirtasi kekuasaan, karena pada hakiakatnaya manusia menyadari kekuasaan dunia hanyalah simulasi atas kekuasaan yang maha Kuasa yang menciptakan dunia, bilamana kekuasaan dunia bisa sebaik mungkin haruslah berdasarkan kekuasaan hakiki dalam ketuhanan.
                Sebaliknya, agama juga tidak tunduk diam dalam permainan politik. Disini agama digambarkan berpolitik secara apik. Salah satunya adalah penggambaran dan simnolisasi sultan sebagai Gusti di dunia. Menyatakan bahwa keagaamaan menjadi pusat dan poros pemerintahan kerajaan dan system kehidupan masyarkat kerajaan. Sehingga pelaksanaan kehdiupan sehari- hari dimasyarakat berdasarkan doktrin dan ajran keagamaan. Silmbol, merupakan hasil ampuh dari kegairahan yang dimediasis ritual, symbol menegakan muatan emosional yang sudah tercipta sejak awal. Melalui symbol ini agama akn dibela, pembelaan sultan sebagai gusti yang ada di bumi menggambarkan penghormatan dan pembelaan terhadap agama. Maka daria itu, agama menjadi terlindungi dan terlestariakan dengan baik. Selain itu, sultan dengan ke istimewaan yang di dapat menggambarkan pembangunan sekat disekililing aliran keagamaan yang membatasi manfaat yang didapat pengikutnya.

KESIMPULAN
                Islam di jawa terdiri dari dua golongan yang tidak bisa dipisahkan secara totlaiter yaitu islam yang berdasarkan kesalehan normative, dan islam yang berdasrakan kebatinan. Berbeda dengan Clifort Gertz yang memandang agama jawa sebagai kelompok abangan, priyayi dan santri.  Untuk kajian secara etnografi mereka berhasil menjelaskan islam di jawa secara baik dan cukup lengkap pembahasannya. Terutama Mark. R. Woodward yang menggambarkan secara gambling dan historis bagaimana islam masuk dan berkembang ke Indonesia hingga membentuk beberapa varian islam yang di anut dan di percayai oleh pemeluknya.  Karya besar ini bukan berarti tidak memiliki kekurangan, karena pada dasarnya pasti ada sisi yang memang kurang dan berpotensi untuk diulas, dikritik, oleh penemu lainnya. Kelemahannya adalah data etnografi Woodward memang sangatlah lengkap dalam menhyajikan sebuah fenomena, namun kebanyakan secara deskriftif, kurang ekplanatoris. Kendati demikian masih ada beberapa kajian yang di ungkapkan beliau yang bagi saya kurang penjelasan.
                Salah satu contoh kekurangan penjelasan yang seharusnya ada adalah bagian menjelaskan islam kebatinan. Di awal penjelasanya mengenai islam jawa aliran kebatinan Woodward menyebutkan bahwa aliran kebatinan islam jawa tidak sama dengan eskaptisme yang dikemukakan beberap ahli. Eskaptisme merupakan pelarian, penyangkalan, atau perlawanan akan kenyataan kehidupan yang ada di dunia. Sisi mana yang membedakan kebatinan dengangambaran ini? Apakah kebatinan islam di jawa ini membentuk sifat tersendiri pada umatnya yang berbeda dengan eskaptisme tadi? Seyogyanya jika iya, Woodaward menunjukan penjelasannya untuk mendukung analisanya. Selain itu, walaupun sedikit di singgung di beberapa bagian, menurut saya Woodward kurang memperhatikan dan melobatkan pemikiran islam pembaru dalam karyanya. Islam pembaru yang dianut kebanyakan asliran muhamadiyah ini seperti sedikit di abaikannya sebagai pandangan santri secara umum, padahal jumlah penganutnya dan yang menerimanya sudah tidak bisa dikatakan sedikit lagi terutama di kota Yogyakarta dimana Ahmad Dahalan pertama kali mengmbangkan pemikirannya. Namun, pada akhirnya beliau tetap bisa menggambarkan dengan jelas dan baik secara keseluruhan tentang islam di jawa dan bagaimana kaitannya dengan Kebatinan dan kesalehan normative.