Sabtu, 25 Juni 2016

DUNIA YANG DILIPAT



REVIEW “DUNIA YANG DILIPAT : REALITAS KEBUDAYAAN MENJELANG MILENIUM KETIGA DAN MATINYA POSTMODERNISME” KARYA YASRAF AMIR PILIANG
OLEH: FREGGIYANTO BANYU SATRIA

PENDAHULUAN
            Melalui karyanya “dunia yang dilipat”, piliang ingin mejelaskan bagaimana rupa dan bentuk masyarakat kita pada masa kontemporer, di milenium baru ini. Masyarakat di dunia baru ini, bagaikan mendapati sebuah hologram raksasa, dimana semakin kita berusaha untuk mengejar dan menggapai sesuatu itu, semakin kita menuju dan menangkap kehampaan. Akhirnya manusia akan mengejar kesemuan, yang membuat dia candu, dan mengalami titik puncak kepuasan semu, yang oleh Piliang di sebut sebagai “ekstasi”. Ekstasi ini terjadi diberbagai macam bidang kehidupan, seperti ekstasi media, ekstasi sosial, ekstasi seksual, ekstasi spiritual.
            Ekstasi sosial membuat orang lebih memilih interaksi virtual dengan obyek, manusia berbicara dengan benda. Ekstasi spiritual menyebabkan manusia hanya peduli dengan ritual saja dan sedikit mendapatkan esensi spiritualitas. Kehidupan politik di berbagai tingkatan semakin bertumpu pada khayalan dan janji-janji, membentuk politik yang sarat akan ekstasi. Segala macam ekstasi ini “me-nina bobo-kan” manusia yang sebenarnya semakin hilang konsep dirinya sebagai subyek. Manusia modern kini tak lebih dari “papan iklan” berjalan.
            Melihat keadaan masyrakat seperti itu, piliang hendak mengingatkan, mencoba menceritakan dongeng anak jaman mengenai bagaimana perangkap ekstasi dalam berbagai macam bidang yang berkembang. Selanjutnya, bagaimana hal tersebut bisa memunculkan realitas parodi yang melakukan plesetan, atau guyonan pada dirinya sendiri. Dan akhirnya, beliau ingin mengingatkan kita yang semakin berjalan ke milineum baru, namun jiwa kita masih terjerat akan ilusi dan ke semuan.



PEMBAHASAN
PERANGKAP-PERANGKAP EKSTASI
            Kehidupan masyarakat kita sedang dalam kendali perangkap-perangkap ekstasi. Mulai dari perekonomian yang sangat mengumbar nafsu, dimana segala macam tindakan ekonomi di dasari oleh nafsu, bukan lagi didasari oleh kebutuhan. Dan akhirnya terbentuklah apa yang dinamakan ekonomi libido. Ektasi pengetahuan, dimana segala kedalaman dari pengetahuan sudah tidak penting lagi, yang ada hanya kulit luar pengetahuan yang oprasional untuk mengejar ilusi hologram mimpi. Ekstasi spiritual yang lebih mementingkan ritual dibandingkan dengan esensi spiritual itu sendiri.  
            Kondisi-kondisi ekstasi ini diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah matinya atau hilangnya batas. Kehilangan batas dalam konsep ruang menjadikan ruang menjadi kabur dan semu. Batas ruang hiolang ditelan oleh teknologi, dimana kita bisa meng”ada” di beberapa tempat sekaligus melalui teknologi. Namun, hilangnya batas juga terjadi di dunia sosial, dan membentuk suatu masyarakat yang transparan. Dengan adanya transparansi batas usia dalam sosiologis dari masa kanak-kanak dan dewasa misalnya bisa menghilang, dan akhirnya moralitas akan semakin kabur, dan terjadilah ekstasi diberbagai bidang.
            Selanjutnya, keadaan ektasi ini dipicu oleh kaburnya makna kebutuhan dan nafsu. Dimana nafsu adalah kerinduan akan kenikmatan, pengalaman indah, enak, puncak, yang kini dianggap sebagai kebutuhan. Yang terjadi berikutnya bahwa komoditas akan menjadi alat pemuas nafsu, dimana nafsu bersifat tidak terbatas, sedangkan komoditas terbatas akan jumlah maupun batas moralnya. Kondisi ini mengakibatkan hiperkomoditi yang menggakibatkan terkikisnya keindahan, kedalaman, ketajaman moral, spiritual, dalam diskursus kehidupan, salah satunya ekonomi.
            Peradaban percepatan dalam dunia kontemporer juga turut andil sebagai alat mempercepat kinerja dan efek ektasi. Ilmu mengenai percepatan ini disebut oleh Virillo sebagai dromologi. Dalam dunia global dimana ruang sudah tidak ada karena kecepatan yang menakjubkan atas arus informasi, dan arus komoditas, segala sesuatu yang berjalan lambat akan tergilas. Kehidupan sosial berpacu dengan kecepatan itu sendiri, karena pada dasarya modernisasi merupakan kumpulan pembaruan yang dihasilkan percepatan. Akhirnya, perceaptan informasi yang mengalir tentang citraan mempengaruhi diri individu dalam gaya kehidupannya. Semakin cepat perputaran informasi juga citraan, manusia akan semakin cepat berganti citraanya, dan pemikiranya tanpa pendalaman makna yang terjadi. Maka akan muncuk gejolak dalam bagian kehidupan itu sendiri akibat percepatran, gejolak-gejolak ini yang menjadi bahaya ektasi kehidupan.
REALITAS-REALITAS PARODI
            Menurut George Bataile, segala sesuatu yang tampak di dunia ini pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar parodi atau sindiran bagi sesuatu yang lain. Hal ini rupanya sangat jelas terlihat pada kehidupan sosial masyarakat saat ini. Akhirnya, hidup di masyarakat ini menjadi seerti teater masal, dan masyrakat berubah menjadi masyrakat tontotonan, dimana tontonan menjadi sebuah komoditas, dan komoditas menjadi sebuah tontonan sepeti apa yang dikatakan Guy Debort. Pada akhiranya semuanya hanya akan menjadi simulasi, pendidikan (tujuan: intelektualitas, kebijaksanaan, modalitas) yang ada sebenarnya anti-pendidikan (komoditas, tenaga kerja, skill). Contoh lainnya adalah dunia seni, dimana seni sudah berbalik menjadi komoditas dan yang terjadi adalah estetika (berdasar: moral, etika, spiritual) menjadi parodi estetik (berdasar: nilai komoditas, hegemoni). Pada akhirnya, kita tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya tontonan, mana yang normal, dan mana yang tidak normal. 
Pada titik tertentu abnormalitas ini akan berpengaruh terhadap identitas individu, kelompok, atau bangsa. Menurut Peter L. Berger, identitas merupakan proses membentuk realitas dalam hubungan sosial yang bersifat dialektis dengan masyrakat dan bisa dipelihara, dimodifikasi, bahkan ditinggalkan tergantung dengan struktur masyarakat. Krisis identitas terjadi salah satu faktornya adalah kondisi struktur sosial tadi, yang bersifat abnormal, parodi, maka identitas akan tenggelam dalam peran yang dia sandang dalam panggung sandiwara globalisasi. Faktor selanjutnya adalah, tersedianya informasi begitu luas mengenai kultur, subkultur, kelompok marginal lain. Hal ini menjadi titik pengaburan identitas kita sendiri. Namun, pada dasarnya identitas merupakan proses, maka dia akan berkembang sesuai dengan sejarah masa lalu atau bahkan tidak berdasarkan hal tersebut. Di tengah relatifitas yang melanda seluruh dunia pada masa ini, dipelukan identitas yang kuat, di tengah prularisme yang menurut Derida orang bisa dengan sangat cepat berganti identitas karena pluralisme berarti ketidak berpihakan.
Di Indonesia sendiri, identitas masyrakatnya terserang dua arah dari  dalam dimana wacana nasionalisme melunturkan nilai lokal, dan beriringan dengan itu, wacana globalisasi, melunturkan nilai nasionalisme. Pada akhirnya timbulah berbagai gaya hidup dan sub-kultur dari yang negatif maupun positif seperti konsunmerisme, neo-/anti-spiritualisme, pemikiran kehhidupan berbasis lingkungan, Punk, anti kemapanan, dan masih banyak berbagai hal lainnya. Namun, pada dasarnya permaslahan ideintitas ini juga berkatian dengan orang lain yang melihat kita sebagai satuan identitas. Dalam proses ini, seharusnya obyektifitas penilainaan lah yang menjadi dasar, tetapi yang banyak terjadi adalah etnosentrismee yang dipakai sebagai kacamata. Karena pada dasarnya tidak ada yang berhak menilai dan memutuskan apa yang paling baik untuk suatu kelompok masyarakat berdasar nilai yang di anutnya.
Dalam dunia kontemporer ini, seoleh olah timur adalah peradaban yang lebih mundur dari barat. Sehingga barat berhak menilai, memutuskan, bahkan mengatur kehidupan timur sebagaimana pemahamannya. Dengan mimpi “narasi besar” masyrakat di tata sedemikan rupa. Namun, hal ini mengalami paradoks, dimana perkembangan informasi dan teknologi yang super pesat bukan melanggengkan tujuan tersebut, namun malah memimbulkan apa yang disebut massa, dan dalam komunikasi massa maka berakhir dan tamatlah dunia sosial.
JEJAK – JEJAK MILINEUM
            Pada masa yang disebut millineum ke tiga ini, dimana karakteristik masyrakat seperti desa Global, terjadi yang namanya hiperealitas. masyarakat menjadi terjebak dalam situasi simulasi yang selalu di remajakan kembali melalui kapitalisme. Simulasi ini merupakan penciptaan model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas. Sedangkan kapitalisme memperkokoh keinginanuntuk mem”baru”kan sesuatu yang tidak ada habisnya melalui agen citraan yang ada. Hanya saja tidak ada sebenarnya yang diproduksi saat ini yang bersifat baru. Semuanya hanyalah simulasi dari hal-hal yang sudah ada. Kodisi seperti ini juga disebut bberapa ahli sebagai hipersemiotika, dimana terjadi ketidak sesuaian, atau ke hilangan makna akan tanda tanda yang ada. Makna sebuah penanda sudah lepas dari tanda, atau dengan kata lain seperti yang dikatakan Bartes, matinya pengarang.
            Akhirnya, dalam keadaan demikian dunia rasanya sedang dilipat. Jarak atau ruang menjadi mati dikalahkan melalui waktu. Dan manusia, terjebak dalam sirkuit balap kehidupan yang menyuguhkan kebaruan-kebaruan yang sebenarnya hanyalah daur ulang dari fragmen-fragmen yang sudah ada sebelumnya. Pada ekonomi misalnya, daur hidup barang menjadi semakin sempit. Pada estetik, tidak ada penciptaan karya, melainkan duplikasi, bahkan reduplikasi karya masa lalu dengan nilai baru yang jauh tidak bermoral.
            Dalam dunia postmodern sekarang segalanya menjadi semu. Seakan kita menelusuri banuyak tanda, yang berasal dari masa lalu, namun tidak bermakna. Semuanya hanya menjadi semcam kerinduan romantisme masa lalu. Ruang publik menjadi semakin jejal dengan komoditas. Nilai, moral perlahan luntur dalam kebisuan. Memasukan nilai, moral, spiritual, melalui media, sama hal nya dengan kesia-sian. Karena komoditi lain yang kiranya dianggap lebih penting silih berganti menyundul nilai tadi, dan proses perenungan nilai menjadi tidak ada. Bahkan pusat berbelanja dan televisi adalah sebuah tempat ibadah agama baru, agama kapitalisme postmodern.  Manusia semakin kehilangan kesadaranya, ungkapan Cartesian “aku berpikir, maka aku ada” di gantikan di masa sekarang menjadi “aku berkonsumsi, maka aku ada”. Semuanya dilakukan demi membentuk identitas semu yang juga akan silih berganti mengikuti komoditas. Maka yang terjadi selanjutnya adalah “aku berganti diri, Maka aku ada”
            Manusia memperebutkan makna sosial yang dibawa produk yang mereka konsumsi. Padahala tanda yang di konsumsi adalah tanda yang sudah mengalami dekontruksi. Sehingga kehidupan manusi post-modern menjadi kehilangan makna, bergaya anti sosial. Danmengarah pada kematian kehiupan postmodern itu sendiri.



KORELASI DENGAN MASYARAKAT MODERN
            Dalam masyarakat modern atau boleh saya sebut Postmodern? saat ini, terutama kehidupan sosial indonesia, sangat terlihat jelas manusia sedang gterjerat dalam ekstasi-ektasi kehidupan. Mulai dari ekrtasi ekonomi dimana masyrakat menjadi semakin konsumtif  “mengikuti perkembangan”, handphone yang cepat berganti, dari BB, Android, dan Smartphone lainnya. Selain itu juga fashion, yang setiap tahunnya berganti tren, gaya rambut, baju, celana, sampai-sampai segala fashion masa lalu kembali di reproduksi untuk memenuhi hasrat penampilan tersebut. Hal ini dialkukan demi identitas diri, yang semu. Tidak berarti dan akan selalu berubah.
            Contoh lain, dalam dunia pendidikan indonesia. Dimana yang terjadi sudah ke taraf parodi dari pendidikan itu sendiri. Semakin berkembang pendidikan di Indonesia mulai dari tingakatan, hingga berbagai amcam jurusan yang ada bukannya bisa mencapai intelektualitas, moralitas, dan kebijaksanaan. Namun hanya terjebak dalam tujuan semu yaitu “pasar tenaga kerja”. Ini bisa terjadi akbiat proses mendapatkan informasia dan nilai terlalu cepat disusul dengan lainnya, dan akhirnya informasi dan nilai dari sebuah pengetahuan di anggap sebagai komoditas (modal bekerja) yang datang dan pergi. Tidak ada unsur ke dalamman. Sebagai contoh, mengerjakan tugas yang sudah dikerjar deadline, atau skripsi yang penting cepat tanpa tahu akan kualitas pekerjaannya, bahkan dengan menduplikasi hasil dari pekerjaan orang lain adalah studi kasus yang pas untuk menjelaskan kenapa pendidikan menjadi sebuah parodi.
            Dalam dunia seni, dan semiotika. Dimana sudah tidak ada lagi ruang. Aku bisa mengada dimana saja, di Hpmu, di Laptopmu, melalui teknologi komunikasi. Orang semakin bebas dari kata yang dia keluarkan, tanggung jawab menjadi hilang dengan apa yang kita katakan, tiulis, dan ungkapkan karena melalui media-media tersebut, pengarang sudah dianggap mati dan orang lain bebas untuk mengartikan. Akibatnya banyak ocehan tidak bertanggung jawab, bullying melalui medsos, kritik tidak asik, umpataan, hasutan , dan banyak juga salah pengartian, aduan akan pencemaran nama baik. Dan masih banyak kasus fenomena yang timbul di dunia TV, media, internet, facebook, twitter, instagram, pada masa postmodern ini. Kehidupan sosial saat ini kacau, menjadi antisosial. Dalam segi informasi,  Kita bahakan akan lebih mengenal artis, yang belum pernah dijumpai daripada tetangga, aatau bahkan keluarga kita sendiri.
            Ketidak pastian ini mengancam masyarakat kita mengalami disintegrasi yang menyeluruh, atau hilangnya identitas nasional. Indonesia yang multikultural sudah sedikit kehilangan identitas kedaerahan dengan usaha untuk menggalakan wacana nasionalisme, namun belim juga tercapai sekarang ini sudah digempur glonalisasi yang tanpa saringan informasi kecuali dari dalam diri orang tersebut. Globalisasi ini juga melunturkan nasionalisme menjadi perkumpulan dan pertarungan nilai-nilai internasionalisme yang membingungkan. Masyarakat yang kebingungn menjadi tanpa arah, dan pegangan. Arah dan pegangan tersebut seharusnya memang melalui moral, spiritual, dan intelektualitas. Sehingga ada kedalaman arti, kedalaman nilai, yang mencegah terjadinya kehidupan anti-sosial menyeluruh.
            Namun, secara positif sebenarnya kehidupan di masa sekarang ruang tidak di kuasai secara penuh oleh sebuah kelompok, baik kelompok kepentingan maupun pemerintah. Sekarang, kita bebas mengkritik pemerintah contohnya, melalui medsos, langsung, demonsrasi. Pemikirran seseorang bisa di unduh dimana pun. Artinya, ada kesetaraan posisi, secara politis mapun secara kelas sosial dalam ruang-ruang yang ada. Ini adalah modal untuk terbentuknya masyarakat kritis, masyrakat madani. Hanya saja, masyrakat harus di sadarkan, di bangunkan, direhabilitasi dari parodi-paroodi dan ekstasi kehidupan.
KESIMPULAN
            Menurut saya, masyarakat sekrang memang sudah berada di era postmodern. Dimana  informasi tanda sangat lah bebas. Bebas dari interfensi, bebas dari tekanan politik dan sosial, bebas dari kelas-kelas sosial. Di tambah lagi adalah percepatan teknologi yang menghilangkan ruang, melalui waktu. Segala  informasi darr balahan dunia lain, tanda dari belahan dunia lain bisa kita serap disini dalam hitungan detik, Bahkan secara langsung. Masyarakat menjadi satu desa global, sebuah komunitas di sirkuit wacana yang sama. Kemajuan ini tentunya merupakan suatu jalan menuju narasi besar yang di impi-impikan sebagai wacana masyarakat global.
            Namun, yang terjaidi malah sebaliknya, keadaan yang mudah tadi membuat manusia bertindak mudah. Bukannya untuk mendalami apa saja yang bisa mereka dapat, manusia malah mengejar kuantiatas apa saja yang mereka dapat dalam dunia sekarang.  Akhirmya kita hanya menjadi budak komoditi, dan tidak mendalami apa nilai dari sbeuah komoditi. Nilai-nilai, moral, dan spiritual kita akhirnya menipis dalam diri seseorang yang membuat seseornag kehilangan identitasnya. Segala yang dituliskan penulis sudah seperti ramalan yang erjai di era sekarang. Seharusnya ini menjadi kitab suci baru dunia sosial. yang kurang dijelaskan oleh penulis adalah bagaimana seorang pemikir posmodern sebenarnya menyikapi keadaan postp=moden itu sendiri,. Apakah pemikirannya merupakan dukungan keadaan postmodern, sinisme, kritikan, atau bahkan sebuah aliran penolakan terhadap postmodern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar